BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada
pembahasan ini dikemukakan tentang Sejarah Perkembangan Ideologi yang
mempunyai pengaruh dan dampak yang sangat kuat kepada masyarakat termasuk para
penganutnya, seperti negra Indonesia yang berada dipersimpangan Dua Idiologi Dunia, sedangkan
Indonesia sendiri menganut idiologi Pancasila. Idiologi pada dasarnya merupakan idea atau gagasan yang dilemparkan atau
ditawarkan ketengah-tengah arena perpolitikan. Oleh karena itu, idiologi harus
disusun secara sistematis supaya dapat diterima oleh warga masyarakat secara
rasional. Sebagai ide yang hendak mengatur tertib hubungan masyarakat, maka
idiologi biasanya menyajikan penjelasan dan visi mengenai jkehidupan yang
hendak diwujudkan.
Ideologi dalam hal ini tidaklah dipandang secara abstrak tetapi harus
mampu terukur terhadap kiprah eksistensinya, sehingga tidak heran apabila
Soekarno pernah mengatakan tentang perseteruan ideologi besar dunia. Beliau
mengemukakan: “Bertrand Russel pernah menulis, bahwa di dalam sejarah manusia
adalah dua dokumen historis yang sampai sekarang menguasai alam-hati dan
alam-fikirannya bagian-bagian besar dari umat manusia, dan yang bersaingan
hebat satu sama lain. Dan dokumen historis itu ialah ‘declaration of
independence’ Amerika tulisan Thomas Jafferson, dan ‘Manifes Komunis’ tulisan
Karl Marx.” (Dibawah Bendera Revolusi. 1965. Hal: 329). Untuk
mengenal lebih lenjut tentang ideologi, Sejarah
Perkembangan Ideologi Sosialisme dan Liberalisme, berikut akan
dikemukakan beberapa faham di dunia, baik yang masih bertahan membasis di
masyarakat dunia maupun yang hanya tercatat dalam blantika politik dunia. Dan akan dijelaskan juga mengenai pandangan bangsa Indonesia terhadap idiologi Sosialisme dan Liberalisme yang telah lama berkembang di Indonesia dan juga Idiologi bangsa Indonesia sendiri yaitu Idiologi Pancasila.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah lahirnya idiologi sosialisme ?
2.
Bagaimana perkembangan ideologi sosialisme di dunia ?
3.
Bagaimana sejarah lahirnya
ideologi
liberalisme ?
4.
Bagaimana perkembangan
ideologi
liberalisme di dunia ?
5.
Bagaimana
bangsa indonesia menyikapi idiologi sosialisme dan liberalisme ?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui sejarah
lahirnya ideologi sosialisme.
2.
Mengetahui perkembangan
ideologi sosialisme di dunia.
3.
Mengetahui sejarah
lahirnya ideology
liberalisme.
4.
Mengetahui perkembangan
ideologi liberalisme di dunia.
5.
Mengetahui
sikap bangsa indonesia terhadap idiologi sosialisme dan liberalisme.
1.4
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan cara
meresume beberapa materi dari buku dan mengambil beberapa referensi dari artikel-artikel
yang ada pada internet yang selanjutnya dikaji dan dikembangka oleh penulis.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Lahirnya
Ideologi Sosialisme
Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis,
sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis
sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak mewujudkan
masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan
maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau
lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Dalam arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial democrat, (2) komunisme,(3) anarkhisme, dan (4)
sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad ke-19, tetapi gerakan ini
belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad ke-19 yaitu sejak terbit
bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang sangat
menentukan jalannya sejarah umat manusia. Sosialisme muncul sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan pada akhir
abad ke-18 dan awal abad ke-19 M di
Eropa.
Sosialisme merupakan ajaran kemasyarakatan (pandangan hidup) tertentu yang
berhasrat menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil produksi
secara merata (W.Surya Indra, 1979: 309). Dalam membahas sosialisme tidak dapat
terlepas dengan istilah Marxisme-Leninisme karena sebagai gerakan yang
mempunyai arti politik, baru berkembang setelah lahirnya karya Karl Marx,
Manifesto Politik Komunis (1848). Dalam edisi bahasa Inggris 1888 Marx memakai
istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian dalam pengertian yang sama.
Hal ini dilakuakan
sebab Marx ingin membedakan teorinya yang disebut “sosialisme ilmiah” dari “
sosialisme utopia” untuk menghindari kekaburan istilah dua sosialisme dan juga
karena latar belakang sejarahnya. Marx memakai
istilah “komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar nampak lebih bersifat
revolusioner (Sutarjo Adisusilo, 1991: 127).
Dalam perkembangannya, Lenin dan Stalin berhasil mendirikan
negara “komunis”. Istilah “sosialis” lebih disukai daripada “komunis” karena
dirasa lebih terhormat dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka menyebut masa
transisi dari Negara kapitalis ke arah Negara komunis atau “masyarakat tidak
berkelas” sebagai masyarakat sosialis dan masa transisi itu terjadi dengan
dibentuknya “ Negara sosialis”, kendati istilah resmi yang mereka pakai adalah
“negara demokrasi rakyat”. Di pihak lain Negara di luar “Negara sosialis”,
yaitu Negara yang diperintah oleh partai komunis, tetap memakai sebutan
komunisme untuk organisasinya, sedangkan partai sosialis di Negara Barat
memakai sebutan “sosialis demokrat” (Meriam Budiardjo, 1984: 5).Dengan demikian
dapat dikemukakan, sosialisme sebagai idiologi politik adalah suatu keyakinan
dan kepercayaan yang dianggap benar mengenai tatanan politik yang
mencita-citakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata melalui
jalan evolusi, persuasi, konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan.
2.2.
Sosialisme dan Demokrasi
Relasi antara
demokrasi dan sosialisme merupakan satu-satunya unsur yang paling penting dalam
pemikiran dan politik sosialis. Ditinjau dari segi sejarah sosialisme, bagi kelas-kelas yang berkedudukan
rendah memiliki kesempatan yang lebih untuk mengakhiri ketidaksamaan yang didasarkan atas kelahiran dan
tidak atas jasa, membuka lapangan pendidikan bagi semua rakyat, memberikan jaminan
sosial yang cukup bagi mereka yang sakit, menganggur dan sudah tua dan
sebagainya.
Semua tujuan sosialisme demokratis ini mempunyai persamaan
dalam satu hal yaitu membuat demokrasi lebih nyata dengan jalan memperluas
pemakaian prinsip-prinsip demokrasi dari lapangan politik untuk masyarakat, bukan politik dari masyarakat.
Sejarah menunjukkan, masalah kemerdekaan merupakan dasar bagi kehidupan
manusia. Kemerdekaan memeluk agama-kepercayaan, mendirikan organisasi politik
dan sebagainya merupakan sendi-sendi demokrasi. Jika prinsip demokrasi telah
tertanam kuat dalam hati dan pikiran rakyat, maka kaum sosialis dapat
memusatkan perhatian pada aspek lain.
Sebaliknya, di Negara yang masih harus menegakkan demokrasi,
partai sosialis harus berjuang untuk dapat merealisasikan ide tersebut.
Misalnya di Jerman masa kerajaan kedua (1870-1918) yang bersifat otokratis,
partai sosialis demokratis senantiasa bekerja dengan rintangan yang berat.
Lembaga parlementer hanya sebagai selubung untuk menutupi pemerintahan yang
sebenarnya bersifat diktaktor.
Pada masa
Bismarck berkuasa, kaum sosialis demokrasi dianggap sebagai” musuh-musuh Negara”, dan pemimpin
partai yang lolos dari penangkapan melarikan diri ke Inggris dan Negara Eropa
lainnya. Demikian pula pada masa republik Weiner (1919-1933), partai sosial
demokratis Jerman juga tidak berdaya karena tidak ada pemerintahan yang
demokratis. Di Rusia sebelum 1917, keadaan lebih parah lagi, Rezim Tsar
yang despotis sama sekali tidak berpura-pura dengan masalah pemerintahan
demokratis. Jadi tidak mungkin ada perubahan sosial dan ekonomi dengan jalan
damai, sehingga apa yang terjadi ialah revolusi oleh kaum komunis. Pada
Perang Dunia (PD) II memberikan
gambaran lebih jelas tentang masalah di atas. Menjelang tahun 1936 partai
sosialis di Perancis merupakan partai yang terkuat.
Selama PD
II di bawah kedudukan Jerman, kaum komunis lebih banyak bergerak di bawah
tanah, mengadakan teror dan bertindak di luar hukum sebagaimana sifatnya dalam
keadaan normal pun juga demikian, memperoleh pengikut yang lebih banyak,
sehingga menjadi partai yang terkuat di Perancis. Berbeda dengan yang berada di Inggris, kaum sosialis dalam
pemilihan umum tahun 1951, memperoleh suara 6 kali pengikut yang lebih banyak
jumlahnya apabila dibandingkan dengan suara yang didapat kaum komunis. Bukti
tersebut tidak hanya diberikan oleh Inggris Raya, tetapi juga oleh
Negara-negara demokratis lainnya yang mempunyai gerakan–gerakan sosialis yang
kuat. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sipil yang penuh dapat menangkal
fasisme dan komunisme. Apabila
orang ingin memberikan tingkat kepada Negara-negara demokratis terutama dalam
masalah kemerdekaan sipil, maka Inggris, Norwegia, Denmark, Swedia, Belanda,
Belgia, Australia, Selandia Baru dan Israel akan berada di Puncak daftar.
Di Negara
itu dalam masa terakhir berada di bawah pemerintahan sosialis atau
kabinet-kabinet koalisi yang di dalamnya kaum sosialis memperoleh perwakilan
yang kuat (William Ebenstein,1994: 215). Kesejajaran di atas tidaklah rumit untuk ditelusuri, kaum
sosialis demokratis menyadari akan kenyataan bahwa, tanpa kesempatan-kesempatan
yang diberikan oleh pemerintahan konstitusional yang liberal mereka tidak akan
sampai pada tangga pertama. Sekali mereka berkuasa dalam pemerintahan, kaum
sosialis masih tetap mempertahankan psikologi oposisi. Sebab mereka tahu bahwa
dengan memegang kekuasaan politik belum berarti soal-soal organisasi sosial dan
ekonomi dengan sendirinya akan terpecahkan . Dengan kata lain, sebelum kaum
sosialis mengambil alih pemerintahan, mereka beroposisi terhadap pemerintah dan
kelas-kelas bangsawan;
setelah mereka mendapat kekuasaan dalam pemerintahan, psikologi oposisi yang
ditunjukkan terhadap status quo ekonomi perlu tetap ada.
Demokrasi
dan sosialilsme merupakan dua ideologi yang sekarang nampak diannut di berbagai
Negara yang bukan Fasis dan bukan Komunis. Dalam keadaan sekarang tidak mudah
merumuskan pengertian demokrasi . Berbagai macam demokrasi telah berkembang
menjadi berbagaai bentuk masyarakat. Demokrasi Inggris modern atau demokrasi Swedia lebih dekat
dalam beberapa hal pada sosialisme Negara di Soviet Rusia dibandingkan dengan
sistim ekonomi Amerika Serikat . Akan tetapi dalam soal-soal perorangan dan
kemerdekaan politik hal sebaliknya yang berlaku . Berbeda lagi yang ada di
Amerika Serikat mungkin dapat disebut “demokrasi kapitalis”. Disebut demikian
karena yang tampak hanya demokrasi politik, tetapi tidak cukup ada apa yang
dinamakan demokrasi ekonomi dengan tetap adanya freefight ekonomi yang
memungkinkan beberapa gelintir orang menjadi kapitalis yang amat kaya . Demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial dapat diketemukan
dalam idiologi sosialisme, yang pada prinsipnya menjurus kepada suatu keadilan
sosial dengan semboyan : “kepada seorang harus diberikan sejumlah yang sesuai dengan
nilai pekerjaanya”.
Akan tetapi untuk mencapai itu, sering kali pemerintah harus campur tangan dengan membatasi keluasaan
gerak-gerik para warganegara. Sampai di mana ini berlaku, tergantung dari
keadaan setempat di tiap-tiap Negara ( Wiryono P., 1981: 137) .
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosialisme hanya dapat berkembang dalam lingkungan
masyarakat dan pemerintahan yang memiliki tradisi kuat dalam demokrasi. Pada saat kaum sosialis berhasil
memegang kekuasaan, pemerintahan masih tetap diberikan kesempatan kepada pihak
lain untuk ikut ambil bagian ( sebagian oposisi) dan mereka juga menyadari bahwa kekuasaan yang diperoleh
tidak bersifat permanen .
2.3.
Perkembangan Ideologi Sosialisme Di
Dunia
Kemenangan
bangsa-bangsa demokrasi dalam perang dunia I memberikan dorongan yang kuat bagi
partumbuhan partai sosialis di seluruh dunia. Perang telah dilancarkan untuk
mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan keadaan sosial terhadap imperialisme
totaliter Jerman dan Sekutu-sekutunya. Selama peperangan telah dijanjikan
kepada rakyat-rakyat negara demokratis yang ikut berperang, bahwa kemenangan
militer akan disusul dengan suatu penyusunan kehidupan sosial baru berdasarkan
kesempatan dan persamaan yang lebih banyak.
Di Inggris dukungan terbesar terhadap gerakan sosialisme
muncul dari Partai Buruh mencerminkan pertumbuhanuruh dan perkembangannya suatu
proses terhadap susunan sosial yang lama. Pada awal pertumbuhan hanya
memperoleh suara (dukungan) yang kecil dalam perwakilannya di parlemen.
Selanjutnya menjadi partai yang lebih bersifat nasional setelah masuknya bekas
anggota partai liberal. Banyak programnya yang berasal dari kaum sosialis, terutama dari kelompok Febiaan berhasil memperkuat posisi
partai karena dapat memenuhi keinginan masyarakat. Kemajuan yang dapat
dicapaimisalnya dalam bidang (1) pemerataan pendapatan (2)distribusi pendapatan
(3) pendidikan (4) perumahan (Anthony Crosland, 1976: 265-268).
Di Negara-negara Eropa lainnya seperti Perancis, Swedia,
Norwegia, Denmark dan juga Australia dan Selandia Baru partai-partai sosial
berhasil memegang kekuasaan pemerintahan melalui pemilu-pemilu bebas. Hal
tersebut berarti kalau kita berbicara sosialisme, maka kita menghubungkan
dengan sosialisme demokrasi tipe reformasi liberal. Hal ini perlu dibedakan
dengan sosialisme otoriter atau komunisme seperti yang terlihat di Soviet dan
RRC. Selama
tahun 1920-an dan 1930-an, kaum sosialis di Eropa dan Amerika melakukan
serangan baru terhadap kelemahan kapitalisme, ungkapan-ungkapan misalnya :
ketimpangan ekonomi, pengangguran kronis, kekayaan privat dan kemiskinan umum,
menjadi slogan-slogan umum. Di Eropa partai sosialis demokratis dipengaruhi
Marxisme revisionis,solidaritas kelas pekerja, dan pembentukan sosialis yang
papa akhirnya melalui cara demokratis sebagai alat untuk memperbaiki kekurangan
system kapitalis. Periode tersebut merupakan era menggejolaknya aktivitas
sosialis. Setelah PD II terjadi perubahan
besar dalam pemikiran kaum sosialis. Pada permulaan tahun 1960 banyak diantara
partai sosialis demokrat Eropa yang melepaskan dengan hubungan ikatan-ikatan
idiology Marx. Mereka mengubah sikapnya terhadap hak milik privat dan tujuan
mereka yang semula tentang hak milik kolektif secara total. Perhatian mereka
curahkan terhadap upaya “ menyempurnakan ramuan”pada perekonomian yang sudah
menjadi ekonomi campuran.
Akibatnya disfungsi antara sosialis dan negara kesejahteraan
modern (The modern welfare state) kini dianggap orang sebagai perbedaan yang
bersifat gradual.Menurut Milton H Spencer sosialisme demokrasi modern merupakan
suatu gerakan yang berupaya untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui
tindakan (1) memperkenalkan adanya hak milik privat atas alat-alat produksi (2)
melaksanakan pemilikan oleh Negara (public ounership) hanya apabila hal
tersebut diperlukan demi kepentingan masyarakat (3) mengandalkan diri secara
maksimal atas perekonomian pasar dan membantunya dengan perencanaan guna
mencapai sasaran sosial dan ekonomis yang diinginkan ( Winardi, 1986: 204).
Bagaimanakah sosialisme di Negara-negara berkembang ?.
Negara-negara miskin berhasrat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Dari segi kepentingan dalam negeri pertumbuhan ekonoimi yang tinggi merupakan
satu-satunya cara untuk mencapai srtandart hidup, kesehatan dan pendidikan yang
lebih baik. Ada dua cara untuk mencapai
pembangunan ekonomi yang pesat: Pertama cara yang telah digunakan oleh Negara
Barat (maju), pasar bebas merupakan alat utama untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Kedua komunisme, dalam metode ini Negara memiliki alat-alat
produksi dan menetapkan tujuan yang menyeluruh. Dalam menghadapi masalah modernisasi ekonomi Negara-negara
berkembang pada umumnya tidak mau meniru proses pembangunan kapitalis Barat
atau jalur pembangunan komunisme. Mereka menetapkan sendiri cara-cara yang
sesuai dengan kondisi masing-masing Negara. Ketiga jalan ketiga disebut
Sosialisme. Dalam konteks negara terbelakang/berkembang sosialisme mengandung
banyak arti pertama di dunia yang sedang berkembang sosialisme berarti
cita-cita keadilan sosial . Kedua istilah sosialisme di Negara-negara
berkembang sering berarti persaudaraan, kemanusiaan dan perdamaian dunia yang
berlandaskan hukum. Arti Ketiga sosialisme di Negara berkembang ialah komitmen
pada perancangan ( Willan Ebenstein,1994: 248-249).
Melihat tersebut di atas arti sosialisme pada negara
berkembang dengan Negara yang lebih makmur karena perbedaan situasi histories.
Di dunia Barat sosialisme tidak diartikan sebagai cara mengindustrialisasikan
Negara yang belum maju, tetapi cara mendistribusikan kekayaan masyarakat secara
lebih merata. Sebaliknya, sosialisme di Negara berkembang dimaksudkan untuk
membangun suatu perekonomian industri dengan tujuan menaikkan tingkat ekonomi
dan pendidikan masa rakyat , maka sosialisme di negara Barat pada umumnya
berkembang dengan sangat baik dalam kerangka pemerintahan yang mantap (seperti
di Inggris dan Skandinavia) .
Sedangkan di Negara berkembang sosialisme
sering berjalan dengan beban tardisi pemerintahan yang otoriter oleh kekuatan
imperialism easing atau oleh penguasa setempat.Karena itu ada dugaan sosialisme
di Negara berkembang menunjukkan toleransi yang lebih besar terhadap praktek
otoriter dibandingkan dengan dengan yang terjadi sosialisme di Negara Barat.
Kalau Negara-negara berkembang gagal dalam usahanya mensintesakan pemerintahan
yang konstitusional dan perencanaan ekonomi , maka mereka menganggap bahwa
pemerintahan konstitusional dapat dikorbankan demi memperjuangkan pembangunan
ekonomi yang pesat melalui perencanaan dan pemilikan industri oleh Negara.
Jika kita perhatikan dalam sejarah bangsa Indonesia , pada
awal kemerdekaan sampai tahun 1965 pernah pula diintrodusir konsep sosialisme ala
Indonesia.
Apakah itu sebagai akibat pengaruh PKI atau ada aspek-aspek tertentu yang
memang sesuai dengan kondisi di negara kita. Yang jelas sejak memasuki Orde
BAru “sosialisme” itu tidak terdengar lagi. Adanya perbedaan pengertian mengenai
konsep sosialisme , memberikan wawasan kepada kita bahwa suatu ideology politik
yang dianut oleh suatu Negara belum tentu cocok untuk negar lain . Melalui
pemahaman ini dapat dipetik manfaatnya untuk pengembangan pembangunan nasional
demi tercapainya tujuan nasional seperti yang terumuskan dalam UUD 1945.
2.4. Idiologi sosialisme di indonesia
Dalam Buku yang berjudul Sosialisme Indonesia karya Dr. H. Roeslan
Abdulgani, menjelaskan bahwa Dalam konteks
sejarah sosialisme Indonesia, negara Indonesia sesungguhnya sudah mengenal
sosialisme yang mengandung dua bagian dalam isinya, yang masing-masing perlu
dijelaskan. Pertama adalah arti “perkembangan”, kedua adalah arti “sosialisme”.
Yang dimaksud dengan perkembangan adalah sejarahnya, tetapi yang agak terbatas;
sehingga dalam rangkaiannya dengan perkataan sosialisme.
Di tahun 1890 kekuasaan kolonial Hindia-Belanda dikejutkan dengan
ajaran Kyai Samin, alias Soeratniko yang berprofesi sebagai petani di Blora.
Ajaran Kyai Samin tersebut berdasarkan atas hak milik kolektif dan cara-cara
pengolahan sawah secara kolektif, dan gotong royong, dilengkapi dengan aturan
pembagian hasil menurut keperluan dan keadilan. Ditambah pula dengan adanya
disiplin moral yang melarang orang mencuri, membohong, berbuat serong, dan
sebagainya (hlm. 13). Dunia mengakui bahwa sosialisme berdasarkan ilmu
pengetahuan Marx dan Engels, bahwa masyarakat itu terus akan tumbuh sejalan
dengan hukum evolusi. Masyarakat oer-komunis akan bertumbuh menjadi masyarakat
feodal, yang kemudian menjadi masyarakat kapitalis (hlm. 15).Sosialisme
yang cocok diterapkan di Indonesia yaitu Marhaenisme yang diciptakan oleh Bung
Karno.
Secara penjabaran, pertama Marhaenisme adalah asas yang menghendaki
susunan masyarakat kaum marhaen. Kedua, Marhaenisme adalah cara perjuangan yang
revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya. Ketiga, marhaenisme
dus asas “tegelijk” menuju cara perjuangan kepada hilangnya Kapitalisme,
Imperialisme, dan Kolonialisme (hlm. 36). Pancasila merupakan watak perlawanan
atas kapitalisme, dan “sosialisme an sich” walaupun semuanya tidak tersebut
secara keseluruhan UUD 1945 pembukaan 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan dan
aturan tambahan, maka perkataan kolonialisme yaitu penjajahan, secara tegas
tertulis di dalam UUD 1945, sebagai suatu yang tidak sesuai dengan
“perikemanusiaan dan peradilan” dan secara imperatif dalam UUD 1945 “harus
dihapuskan” (hlm. 73).
Pemancaran daripada Pancasila itu adalah “Manipol” dengan “Usdek”
sebagai perasaan Manipol yang oleh MPRS kemudian tidak hanya diperkuat sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara, melainkan diperlengkapnya Garis-Garis Besar
Haluan Negara itu dengan: Pertama, bagian mutlaknya yakni Garis-Garis Besar
Haluan Pembangunan (Amanat Pembangunan Presiden). Kedua, pedoman-pedoman
pelaksanaannya baik di bidang keseluruhannya di dalam negeri, maupun khusus di
bidang hubungan antar bangsa dan luar negeri (Pidato Presiden Djarek dan Pidato
Presiden di PBB) (hlm. 94).
Sejarah pertentangan atas kolonialisme yang didasari oleh
sosialisme, diceritakan kedatangan orang-orang Belanda di tanah air kita yang
membawa peradaban dan ketentraman karena di sinilah belum ada peradaban dan
ketentraman itu, sedangkan seluruh nada ceritanya itu adalah mengagung-agungkan
Jan Pieterszoon Coon, Speelman, Daendels, Van Heutsz, dsb, serta merendahkan
Sultan Agung, Hasanudin, Dipenogoro, Imam Bonjol, tengku Umar, dsb. Sejarah
yang di zaman Hindia Belanda yang diajarkan kepada kita semuanya berdasarkan
pandangan seakan-akan penggerak utama jalannya sejarah perlawanan itu adalah
raja-raja belaka, kadang-kadang diselingi oleh sejarahnya “helden en groote
mannen” artinya “kesatria-ksatria serta orang-orang besar” saja, biasanya dari
lingkungan raja atau dari kerabatnya kaum bangsawan ningrat (hlm. 174-175).
Inilah yang dianggap bahwa raja yang menjadi penggerak
pemberontakan kepada kolonialisme Hindia Belanda, namun sesungguhnya rakyat
yang lebih banyak berperan daripada raja-raja. Inilah langkah awal antara
feodal yang menyerang kolonialisme dari luar.
2.5.
Sejarah Lahirnya Ideologi Liberalisme
Pemikiran
liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut
ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans
yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang
secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena
liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan
raja. (Adams, 2004:20).
Kata liberalisme untuk pertama kali dipakai di Spanyol tahun
1811 sebagai sebutan untuk pengaturan Negara secara Konstitusional sebagai
pengaruh Revolusi Perancis zaman Napoleon. Liberalisme baru benar-benar mulai
berkembang kira-kira pada abad ke-14, tahap akhir abad pertengahan dan awal
zaman Renaissance, dengan munculnya golongan baru yaitu Bourjuis. Selama
berabad-abad struktur masyrakat terbagi menjadi tiga golongan: Rohaniawan,
Bangsawan, dan Rakyat. Status
tercipta karena system kepemilikan tanah sehingga hidup perekonomiannya
terpusat pada mereka yang mempunyai tanah yang tinggal di manor ( kastil atau
istana bangsawan ). Yang kemudian dikenal manorial economy. Tetapi
ketika kerajinan atau Industri perumahan dan perdagangan mulai berkembang, manorial
economy beralih ke Money economy dengan pusat kegiatan ekonomi di
kota-kota. Jadi Liberalisme merupakan suatu
paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, baik dalam kehidupan politik,
ekonomi dan kebudayaan. Paham liberalisme muncul karena kekuasaan raja sangat
mutlak atau absolut yaitu tidak memberikan kebebasan pada rakyatnya. Pada masa
itu dalam kegiatan ekonomi berkembang paham merkhantilisme, yaitu segala
kegiatan ekonomi dan perdagangan harus memberikan keuntungan yang besar pada
kerajaan.
Hal ini menimbulkan reaksi yaitu munculnya gerakan
liberalime di bidang ekonomi, gerakan tersebut akhirnya meningkat menjadi
gerakan politik yang meletus lewat Revolusi Perancis 1978. Melalui kekuasaan
Napoleon I, faham liberal disebarkan ke negara Eropa melalui semboyan “
Liberty, Egality, Fraternity “/ Kebebasan, Persamaan , Persaudaraan.
Liberalisme sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, maka
didalam sistem pemerintahannya selalu mengadakan pembagian kekuasaan, yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini sebagi reaksi keras
terhadap absolutisme mengingat didalam sistem politik absolutisme, hak-hak
asasi manusia selalu diperkosa atau manusia-manusia itu selalu diperbudak.
Itulah sebabnya dalam Revolusi Prancis sebagai reaksi keras terhadap
pemerintahan absolut daripada Raja Louis XVI mengumandangkan suara-suara yang
cukup menggetarkan seluruh dunia, yaitu Liberte, Egalite, dan Fraternite. Sistem politik liberalisme menganggap bahwa
sistem politik yang paling tepat untuk suatu negara agar hak-hak asasi manusia
itu terlindungi ialah sistem demokrasi. Itulah sebabnya, sebagai contoh, Amerika
Serikat menentukan garis kebijaksanan didalam memberikan bantuan terhadp
negara-negara yang sedang berkembang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia,
pemerintah negara-negara di dunia harus menggunakan sistem demokrasi.
Sistem politik liberalisme lebih menekankan terhadap perlindungan
hak-hak asasi manusia, maka infrastruktur/struktur masyarakat/struktur sosial
selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem
kediktatoran.
v Ciri-ciri
Sistem Politik Liberalisme
Sistem
politik liberalisme memiliki beberapa ciri, yaitu:
1. Sangat menekankan
kebebasan/kemerdekaan individu.
2. Sangat menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia yang utama seperti hak hidup, hak kemerdekaan, hak mengejar
kebahagiaan, dan lain-lain.
3. Dalam sistem pemerintahan, terbagi
atas beberapa kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
4. Menganggap sistem demokrasi sebagai
sistem politik yang paling tepat untuk suatu negara karena hak-hak asasi
manusia itu terlindungi.
5. Infra struktur/struktur sosial selalu
berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem
kediktatoran.
6. Adanya homo seksual dan lesbianisme
yang disebabkan penekanan kepada kebebasan individu.
7. Melahirkan sekularisme, yaitu
paham yang memisahkan antara negara dengan agama. Menurut pemahaman mereka,
agama adalah urusan masyarakat sedangakan negara adalah urusan pemerintah. Oleh
karena itu, pemerintah tidak boleh turut campur dalam hal agama.
8. Menentang ajaran komunisme yang
menganut sistem kediktatoran sehingga hak-hak asasi manusia banyak dirampas dan
diperkosa.
9. Melahirkan kelas ekonomi yang
terdiri dari kelas ekonomi kuat dan lemah. Saat ini sedang diusahakan dalam
Sistem politik liberalisme modern untuk menghilangkan jurang pemisah antara
golongan kaya dan golongan miskin.
10. Berusaha dengan keras untuk
mewujudkan kesejahteraan terhadap seluruh anggota masyarakat atau seluruh warga
negara. Mengingat penderitaan dan
kesengsaraan dapat menyebabkan perbuatan-perbuatan yang bertentang dengan
konstitusi negara.
11. Adanya budaya yang tinggi dengan
menjungjung tinggi kreatifitas, produktifitas, efektifitas, dan inovasitas
warga negaranya.
12. Mengusahakan di dalam negaranya
suatu pemilihan umum yang berasas luber sehingga pergantian pemerintahan
berjalan secara normal.
13. Menentang sistem politik kediktatoran
karena meniadakan Hak Asasi Manusia.
v Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari
Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).Dibawah ini,
adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme :
·
Kesempatan
yang sama. Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang
kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang
berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan
berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu
semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
- Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu. Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.
- Berjalannya hukum. Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
- Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Negara hanyalah alat. Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
- Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatism. Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah
2.6.
Dua
Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. Ada dua macam Liberalisme,
yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul
pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad
ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik
akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga
kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada.
Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang
mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai
intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja
dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu
tidak pernah berakhir. Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan
kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir
masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi).
Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki
individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah
kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada keteraturan di
dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang
sebebas-bebasnya.
2.7.
Demokrasi
Liberal
Liberalisme dan demokrasi, adalah
dua hal yang sering disandingkan. Persandingan antara liberalisme dan demokrasi
tersebut kemudian lebih dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Demokrasi
liberal tersebut kemudian disebutkan oleh Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal
"the End of History" sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik
ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang
rasional. Kemudian, dalam tulisannya yang
berjudul "Democracy, the Nation-State, and the Global System",
David Held menyebutkan bahwa demokrasi liberal memsusatkan perhatian pada
"kesimetrisan" dan "ke-kongruen-an" hubungan antara
pengambil keputusan politik dan penerima keputusan politik.
Pada abad 20, teori demokrasi telah berfokus
pada konteks organisasi dan budaya dari prosedur demokrasi serta dampak dari
konteks tersebut pada operasi dari "aturan mayoritas" atau "majority
rule".Namun,
tak dapat dihindari bahwa terdapat pertentangan mendasar dalam demokrasi
liberal itu sendiri. Dalam hal ini, pertentangan antara prinsip-prinsip dasar
dalam demokrasi dan liberalisme sebagai dua hal yang menjadi dasar dari
demokrasi liberal. Konflik antara liberalisme dan demokrasi yang terjadi
kemudian menimbulkan banyak kritik dari berbagai pemikir dan
akademisi.Liberalisme mempunyai mimpi bahwa kesejahteraan manusia dapat diraih
dengan kebebasan individu-individu untuk hidup termasuk kebebasan dalam
berusaha. Liberalisme yang sangat menekankan dan mengedepankan
kepemilikan individu tersebut pada akhirnya mengabaikan nilai atau prinsip
demokrasi yang menekankan equality atau kesetaraan.
Prinsip mayoritas yang juga dianut
dalam demokrasi pada akhirnya juga terabaikan ketika ekonomi dan politik hanya
dikuasai oleh sekelompok minoritas yang memiliki akses terhadap kepemilikan
individu. Penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa demokrasi yang
sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan
kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri. Liberalisme menekankan kebebasan.
Kebebasan yang dicari manusia sendiri berbeda-beda dan tergantung pada kondisi
sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka.
Namun, kaum minoritas yang memiliki
hal (kebebasan) tersebut telah mendapatkannya dengan mengeksploitasi sebagian
besar yang tidak mendapatkan hal tersebut. Mereka percaya bahwa kebebasan
individu adalah sebuah tujuan akhir bagi manusia dan tidak ada yang seharusnya
dapat dikurangi dari hal tersebut oleh yang lainnya; paling tidak bahwa
beberapa harus menikmatinya dengan biaya orang lain. Para filsuf seperti Locke, Adam
Smith, dan dalam beberapa hal, Mill, dengan optimis melihat asal-usul manusia
dan memiliki sebuah kepercayaan mengenai kemungkinan dalam mengharmonisasikan
kepentingan-kepentingan manusia.
Dalam hal ini misalnya mempercayai
bahwa keharmonisan sosial dan kemajuan dapat disesuaikan dengan pesan yang luas
bagi kehidupan privat melebihi negara ataupun otoritas lainnya.Dalam
hal ini, filsuf seperti Mill sangat mementingkan perlindungan bagi kebebasan
individual. Dalam essay-nya yang terkenal, Mill menyatakan bahwa kecuali orang
yang tersisa untuk hidup seperti yang mereka inginkan "di jalan mereka
sendiri", peradaban tidak bisa maju; kebenaran tidak akan, bagi kurangnya
sebuah pasar bebas dalam ide-ide; tidak akan ada lagi ruang untuk spontanitas,
orijinalitas, kejeniusan, untuk keberanian moral. Masyarakat akan ditabrak oleh
sebuah "kolektif biasa" yang berat. Namun, hubungan antara demokrasi
dan kebebasan individu adalah sebuah perjanjian baik yang lebih lemah daripada
yang sepertinya terlihat. Kebebasan dapat mengorbankan kesetaraan.
Hal ini adalah sebuah hal yang biasa
dalam histiografi Marxis untuk menekankan cara dalam praktek-praktek dari
kebebasan borjuis dan sudut pandang formal dari hak yang melindungi mereka baik
yang menghasilkan maupun yang menyembunyikan ketimpangan Kelas. Dalam
Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa "Dengan kebebasan
itu berarti, di bawah keadaan-keadaan yang ditampilkan borjuis dari produksi,
perdagangan bebas, penjualan dan pembelian secara bebas."
Analisis Tocqueville mengenai
ancaman kesetaraan dalam kebebasan, adalah bahwa kita harus juga "berjuang
untuk mengurangi dampak-dampak yang merugikan dalam demokrasi dan kesetaraan
politik yang dihasilkan ketika kebebasan ekonomi memproduksi ketimpangan yang
besar dalam pendistribusian sumber daya dan kemudian, secara langsung maupun
tidak langsung, kekuasaan.Selain itu, dalam sudut pandang Marxisme, merujuk
pada pernyataan Leszek Kolakowski, "adalah sebuah mimpi menawarkan prospek
sebuah masyarakat dengan persatuan yang utuh, dimana aspirasi dari semua
manusia akan dipenuhi, dan dan semua nilai didamaikan; tapi konflik-konflik
yang pasti timbul diantara kebebasan dan kesetaraan, dan beberapa konflik dapat
"diatasi hanya dengan kompromi-kompromi dan solusi-solusi parsial.
Kritik yang paling sering diutarakan
bagi demokrasi liberal memang berasal dari perspektif pemikiran politik
"Kiri" yang berfokus pada penciptaan kesesuaian yang lebih besar
antara representasi politik dan warga negara asli; dalam kasus ini, melalui
penambahan mekanisme akuntabilitas demokrasi. Marx melihat keretakan antara publik dan privat, warga
negara dan borjuis, negara dan civil society sebagai dasar-dasar yang
krusial bagi filosofi liberal. Dalam essay-nya, On The Jewish Question,
Marx menyebutkan bahwa negara-negara liberal maju "menghapuskan"
perbedaan berdasarkan pada kelahiran, pendidikan, pekerjaan, tapi hanya dalam
rangka bahwa hal tersebut dideklarasikan oleh mereka sebagai sebuah hal yang
tidak relevan secara politik.
Hal tersebut mengubah politik kepada
pelayanan yang egois dan hanya peduli pada materi.Kritik lain terhadap
demokrasi liberal diungkapkan oleh para feminis, salah satunya oleh Anne
Philips. Dalam bukunya, Engendering Democracy, Phillips mengungkapkan
bahwa sebagaimana kritik lainnnya, demokrasi liberal mencerminkan sebuah jenis
ketakutan politik. Dimulai dengan antisipasi kecemasan dari apa yang mungkin
dilakukan pemerintah, dan yang kemudian menyusul sebagai perpanjangan hak-hak
demokrasi dan hak pilih, yang mengakhiri ketakutan masyarakat itu sendiri.
Demokrasi liberal dirancang pada
wilayah di luar kontrol pemerintahan dan terkadang secara formal dengan
mendirikan hak-hak individu dan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang tertulis
tapi lebih umum melalui pergeseran konvensi sejarah menjadi lebih dari apa yang
dapat dianggap sebagai sebuah perhatian publik. Dimana sprosedur mengoperasikan
negara akan dibatasi dan manjauh dari domain publik. Demokrasi liberal membuat
pemisahan antara ruang publik dan privat, atau pemisahan antara sosial dan
politik.
Batasan
dari liberal yang diletakkan pada pemerintahan tidak hanya dioperasikan untuk
melindungi kebebasan-kebebasan individual. Mereka juga mempertahankan
ketidakadilan yang dapat membuat olok-olok bagi demokrasi itu sendiri. Hak yang
sama untuk memilih misalnya, tidak menjamin sebuah persamaan yang dipengaruhi
keputusan politik. Para feminis pun menawarkan hubungan yang erat antara teori
feminis dan demokrasi. Para pemikir dan akademisi lainnya pun mencoba
mencarikan solusi atas problema konflik antara liberalisme dan demokrasi
tersebut. Hal - hal yang hanya bersifat prosedural dalam demokrasi liberal
kemudian harus diisi dengan substansi dari demokrasi itu sendiri. Maka
kemudian, akademisi seperti Mouffe pun menawarkan apa yang disebut sebagai
demokrsi deliberativedengan penekanannya terhadap imparsialitas dan konsensus
nasional.
2.8.
Perkembangan Ideologi Liberalisme di Dunia
Idiologi liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir
bagi para individu. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang
bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang
relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak
adanya pembatasan terhadap pemilikan individu, oleh karena itu Liberalisme dianut oleh negara-negara di berbagai benua, yaitu :
Benua amerika: Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Brazil, Cili, Cuba, Kolombia,
Ekuador, Honduras, Kanada, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay,
Venezuela Aruba, Bahamas, Republik Dominika, Greenland, Grenada, Kosta Rika,
Puerto Rico Suriname.
Benua eropa: Albania, Armenia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus,
Republik Cekoslovakia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani,
Hungaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Moldova,
Netherlands, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Rusia, Serbia Montenegro,
Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukraina dan United Kingdom
Belarusia, Bosnia-Herzegovina, Kepulauan Faroe, Georgia, Irlandia dan San
Marino.
Benua Asia: India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan,
Thailand, Turki Myanmar, Kamboja, Hong Kong, Malaysia dan Singapura. Kepulauan
Oceania: Australia dan Selandia Baru.
Benua Afrika: Mesir, Senegal
dan Afrika Selatan, Aljazair, Angola, Benin, Burkina Faso, Mantol Verde, Côte
D'Ivoire, Equatorial Guinea, Gambia, Ghana, Kenya, Malawi, Maroko, Mozambik,
Seychelles, Tanzania, Tunisia, Zambia dan Zimbabwe.
2.9.
Idiologi Liberalisme di Indonesia
Liberalisasi
di Indonesia berawal dari masuknya VOC Belanda. Kemudian ketika Soekarno
berkuasa, ia mencoba dan membalik keadaan dengan mengamanatkan UUD 1945.
Kemudian disusul dengan macam-macam tindakan mulai dari nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing, sampai kemudian pada puncaknya pada tgl 23 Agustus
1965 dengan menerbitkan UU no 16/65.
Dengan
UU itu, Soekarno dengan tegas mengakhiri segala bentuk keterlibatan perusahaan
asing di Indonesia yang merupakan klimaks atau proses atau koreksi penghentian
liberalisasi di Indonesia. Tetapi beberapa minggu kemudian, meletuslah
peristiwa G30S/PKI yang berujung pada akhirnya kekuasaan Soekarno. Proses
penggulingan SOekarno ini, tak lepas dari campur tangan AS.Masuknya
liberalisasi di Indonesia terjadi pasca Proklamasi khususnya setelah Indonesia
masuk Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Di situlah perlahan-lahan
awal masuknya, seperti ketika di KMB saat Indonesia dipaksa untuk mengikuti
IMF, yang jelas kaki tangan Amerika. Kamudian pada 1957, beberapa ekonom
Indonesia berangkat ke Amerika, yang belakangan kemudia dikenal sebagai mafia
Barkeley.
Bukti lain adalah saat pecah pemberontakan PRRI /
Permesta, yang pada salah satu kejadian, tertembaknya sebuah pesawat yang
kemudian jatuh dengan pilotnya yang berasal dari Amerika.Pasca era Soekarno,
cenkeraman liberalisme di Indonesia makin kuat, yaitu dengan masuknya mafia
Barkeley ke dalam Kabinet Soeharto. Dari situlah
terbit sejumlah UU yang menyiapkan dasar-dasar dari proses liberalisasi
berikutnya. Antara lain yang paling penting diantaranya adalah UU no.1 / 67
yang melegalkan penanaman modal asing. Maka sejak itulah di era Soeharto, mafia
Barkeley benar-benar berkuasa, ada liberalisasi, deregulasi, debirokratisasi,
sampai kemudian krisis 1998. Lalu IMF masuk, utang Indonesia pun menggunung dan
seterusnya dan seterusnya sampai sekarang.
Di era SBY makin
liberal lagi. Dengan terbitnya UU Penanaman Modal yang lebih ekstrim liberalnya
dari pada UU No. 1 / 1967. UU tersebut tidak membedakan antara penanaman modal
dalam negeri dan penanaman modal asing, bahkan bisa masuk ke semua sektor
hingga 95%! SBY pun menggelar karpet merah bagi liberlisasi ekonomi di
Indonesia. Dampak dari liberalisasi ini adalah ekonomi Indonesia yang
berkembang, tapi bukan kesejahteraan rakyatnya, melainkan dominasi asing.
Rakyat makin terpinggirkan, kekayaan alam terkuras habis untuk asing, rakyatpun
jadi kuli di negeri sendiri. Kalau di negeri
sendiri tidak bias terpaksa jadi TKI.
2.10.
Idiologi Politik Indonesia
Di Indonesia sendiri, sebelum era ‘66
atau pra masa Orde Baru menguasai pemerintahan, dikenal beberapa aliran atau
ideologi politik yang menurut Herbert Feith dan Lance Castles membentuk teori
tapal kuda, yang dari kiri ke kanan berturut-turut, yaitu :1. Komunisme (PKI),
2. Nasionalisme Radikal (PNI), 3. Sosialisme Demokrat (PSI), 3. Tradisionalisme Jawa (PIR), 5.
Islam (Masyumi dan NU). Perkembangan
ideologi politik pada masa Orde Baru nyatanya dipropaganda dengan menetapkan
Pancasila, selain sebagai pandangan hidup dan dasar negara, ia juga harus
diambil sebagai ideologi politik suatu partai. Sehingga kemudian yang tersedia hanya
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang beraliran Islam, Golongan Karya
(Golkar) yang pragmatis sebagai partai pemerintah, dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang nasionalisme radikal.
Ketiga
wadah politik ini ‘wajib’ menggunakan Pancasila sebagai ideologi politiknya
masing-masing.Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang kadangkala bertindak
dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan budaya
yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu
partai politik dan kebijakannya.
Dari
pengertian di atas, ideologi politik Indonesia boleh jadi disamakan dengan
ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila. Sebelumnya perlu dipahami bahwa
Pancasila memiliki dua peranan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertama,
sebagai pandangan hidup, yakni sebagai pedoman tingkah laku bagi setiap warga
negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila, yang telah diwariskan kepada bangsa Indonesia merupakan
sari dan puncak dari sosial budaya yang senantiasa melandasi tata kehidupan
sehari-hari. Sumber nilai tersebut antara lain, adalah keyakinan adanya Tuhan YME,
asas kekeluargaan, asas musyawarah mufakat, asas gotong royong, serta asas
tenggang rasa dan tepo seliro. Dari nilai-nilai inilah kemudian lahir adanya
sikap yang mengutamakan persatuan, kerukunan, dan kesejahteraan yang sebenarnya
sudah lama dipraktekkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pandangan
hidup bagi suatu bangsa seperti Pancasila sangat penting artinya karena
merupakan pegangan yang mantap, agar tidak terombang-ambing oleh keadaan
apapun, bahkan dalam era globalisasi dewasa ini. Kedua, Pancasila sebagai dasar
negara, yang tercantum di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan
yuridis konstitusional dan dapat disebut sebagai ideologi negara. Sebagai dasar
negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga semua peraturan
hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila harus dicabut.
Perwujudan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, dalam bentuk
perundang-undangan bersifat imperatif (mengikat) bagi : 1. Penyelenggara
negara, 2. Lembaga kenegaraan, 3.
Lembaga kemasyarakatan, 4. Warga negara Indonesia di mana pun berada, dan 5. Penduduk di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Intinya,
Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan ketatanegaraan
negara yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan
hankam.Dalam tinjauan yuridis konstitusional, Pancasila sebagai dasar negara
berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam negara, serta
sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana tertuang di dalam Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966, jo. Tap. MPR No. V/MPR/1973, jo. Tap. MPR No.
IX/MPR/1978. Dalam
perjalanan sejarah eksistensi Pancasila mengalami berbagai macam interpretasi
dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan
tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi negara
Pancasila.
Dengan
kata lain dalam kedudukan seperti ini Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai
dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia melainkan
direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa.
Berdasarkan kenyataan tersebut, gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan
kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Hal ini direalisasikan melalui Ketetapan Sidang Istimewa MPR tahun 1998 No.
XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P-4 dan pencabutan Pancasila sebagai
satu-satunya asas bagi Orsospol di Indonesia, serta mencabut mandat MPR yang
diberikan kepada Presiden atas kewenangannya untuk membudayakan Pancasila
melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila.Monopoli Pancasila demi kepentingan
kekuasaan penguasa hal ini merupakan dampak yang sangat serius atas manipulasi
Pancasila.
Saat ini banyak
kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pancasila
merupakan label politik Orde Baru. Sehingga mengembangkan dan serta mengkaji
Pancasila dianggap akan mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan yang
sinis serta upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila pada era reformasi akan
sangat berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu melemahnya kepercayaan
rakyat terhadap ideologi negara sehingga akan mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia yang telah lama dimana, dipelihara serta didambakan bangsa
Indonesia sejak dulu.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari banyaknya pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Idiologi merupakan sistem gagasan yang mempelajari
keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan
sosial.Istilah “ideologi” dipergunakan oleh Marx dan Engels mengacu kepada
seperangkat keyakinan yang disajikan sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain
adalah pencerminan kondisi-kondisi material masyarakat.
2.
Sosialisme
adalah pandangan hidup dan ajaran kamasyarakatan tertentu, yang berhasrat
menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil-hasil produksi secara
merata, dan juga kepentingan negara lebih diutamakan dari pada kepentingan warga
negaranya.
3.
Sosialisme
sebagai ideology politik timbul dari keadaan yang kritis di bidang sosial,
ekonomi dan politik akibat revousi industri. Adanya kemiskinan, kemelaratan, kebodohan kaum buruh, maka sosialisme
berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan secara merata.
4.
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan
individu, baik dalam kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan. Paham
liberalisme muncul karena kekuasaan raja sangat mutlak atau absolut yaitu tidak
memberikan kebebasan pada rakyatnya.
5.
Liberalisme
sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, maka didalam sistem
pemerintahannya selalu mengadakan pembagian kekuasaan, yaitu kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini sebagi reaksi keras terhadap
absolutisme mengingat didalam sistem politik absolutisme, hak-hak asasi manusia
selalu diperkosa atau manusia-manusia itu selalu diperbudak.
6.
Sistem
politik liberalisme menganggap bahwa sistem politik yang paling tepat untuk suatu
negara agar hak-hak asasi manusia itu terlindungi ialah sistem demokrasi.
7.
Indonesia
mempunyai kecenderungan menolak mentah-mentah nilai-nilai
liberal dan bahkan tidak sedikit yang anti-liberal, karena jika nilai-nilai
liberal diterapkan di Indonesia, maka warga Indonesia cenderung tidak dapat
menjalankan nilai-nilai ‘kebebasan’ di ruang-ruang umum (publik).
8.
Ideologi politik Indonesia boleh jadi disamakan dengan
ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila yang memiliki dua peranan dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Pertama, sebagai pandangan hidup, yakni
sebagai pedoman tingkah laku bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, Pancasila sebagai dasar Negara yang mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum sehingga semua peraturan hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan
Pancasila harus dicabut.
3.2.
Saran
Dari beberapa kesimpulan diatas penulis
dapat memberikan saran :
1.
jika Indonesia sebagai bangsa yang ingin
tertib, sesuai dengan peraturan yang jelas, dan adanya sikap saling menghargai
individu satu dengan yang lainnya, maka sangat signifikan Indoensia menerapkan
ideologi liberal sepaket dengan demokrasi (demokrasi liberal). Sebaliknya, jika
Indonesia ingin tetap bebas, yakni warganya hidup sesukanya, perilaku individu
berada di atas aturan hukum, adanya tindak kekerasan terhadap minoritas dan
individu sebagai ekspresi kebebasan dan demokrasi, maka Indonesia tidak perlu
menerapkan ideologi liberal.
2.
Indonesia
saat ini sangat membutuhkan sebuah idiologi dalam menjalankan pemerintahan ini
ke depan. Tidak lain ideologi itu adalah Pancasila. Dengan demikian, pancasila
masih tetap cocok untuk menjadi dasar Negara dan pandangan hudup bangsa
Indonesia sepanjang pancasila dilakukan dan diwujudkan, bukan hanya dipajang
sebagai dekorasi yang indah. Pancasila adalah paham yang terbuka, maka bangsa
Indonesia harus bersedia mengambil segi – segi positif dari paham – paham yang
lain, termasuk sosialisme
dan liberalisme, guna memperkaya dan memperkuat nilai pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar