BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Gerakan pembaharuan merupakan suatu
perkumpulan terstruktur yang mempunyai misi sebagai pembenahan pemahaman,
kepercayaan ataupun agama untuk menjadikan ke depan lebih baik. Gerakan
tersebut sangat berarti eksistensinya, terutama dalam memperjuangkan dan
menyempurnakan agama. Agama islam pada khususnya, membutuhkan gerakan tersebut
tidak lain supaya keberadaannya tetap ada dan tidak terhapus dari alam (hilang
/ musnah).
Gerakan ini tidak mungkin seluruh
dunia ini sama dan selaras pemahamannya. Hal ini dikarenakan cara pandang
individu atau kelompok yang sangat majemuk dan kompleks dalam memahami sesuatu.
Perkembangan dan keadaan zaman membuat dua pedoman hidup dinul islam, Al-Qur’an
dan Hadits mengalami perubahan dalam menafsirkannya. Dikarenakan
timbul penafsiran yang berbeda-beda sehingga memunculkan beberapa penafsir yang sangat kompleks. Kemajemukan
pemahaman ini yang kemudian para penafsir itu menyebarluaskan argumennya kepada
masyarakat yang semakin lama semakin besar dan membentuk suatu komunitas yang
disebut gerakan pembaharu.
Di indonesia, gerakan pembaharu
bermacam-macam. Namun yang paling termasyhur dan terkenal hanya ada dua, Yaitu;
NU dan Muhammadiyah yang akan dibahas didalam makalah ini. Antara
keduanya memiliki sejarah, visi, misi, cara pandang dan tujuan yang berbeda
satu sama lain. Walaupun begitu, mereka tidak bertentangan dengan landasan
pokok atau syari’at agama islam.
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi islam terbesar di
Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. keduanya
mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah
semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial
keagamaan yang disegani. Kalau NU lahir pada 31 januari 1926, yang sering
disebut oleh para pengamat sejarah sebagai sebuah organisasi yang mewakili golongan
muslim tradisional, sedangkan Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun,
yaitu pada 18 nopember 1912, yang juga sering dikatakan sebagai perkumpulan
yang mewakili muslim modernis.
Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik
Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah
keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya merupakan organisasi tujuh zaman
(istilah Mas Surya Paloh). Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan
Belanda, Pendudukan Jepag, Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer,
Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Dan Sekarang Era Reformasi.
Dilihat dari sudut historitasnya, keduanya telah berperan cukup besar bagi
kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan fase-fase
tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang bagi
keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang
dimiliki masing-masing keduaya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit
dalam pengisian nilai-nilai religius kedalam lokus keindonesiaan.
Pada optik itulah, koinsidensi historis NU dan Muhammadiyah yang terjadi
dan ini memiliki makna yang sangat penting. Setelah melalui perjalanan panjang
dengan segala suka dan dukanya, maka kebersamaan waktu antara sidang tanwir
Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa dijadikan sebagai titik pijak
untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu) era keduanya dalam konteks
sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk menfokuskan dan
mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.
Optimalisasi kerja
kultural itu dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama,
baik NU maupun Muhammdiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan
politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan koredornya “kembali
ke Khithaah 1926” dan Muhamadiyah dengan slogannya “High politics” atau
“politik luhur”, perlu semakin dimantapkan sebagai visi dan cita
pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan
kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan
sesaat. Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah
sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti akibat
gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian besar
para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya keduanya untuk bisa
bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural. Dengan
adanya gerakan pembaharu tersebut harapan kedepan bisa menjadi lebih baik, AMIIIN.....!!
B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana
sejarah berdirinya organisasi NU dan Muhammadiyah?
2) Apa saja
bentuk pemikiran-pemikiran masing-masing organisasi tersebut?
3) Apa tujuan
dari organisasi-organisasi yang di jelaskan dalam makalah ini?
4) Bagamana titik temu NU dan Muhammadiah?
C. TUJUAN
1) Mendeskripsikan
bagaimana sejarah berdirinya organisasi NU dan Muhammadiyah.
2) Menjelaskan
bentuk pemikiran-pemikiran dari masing-masing organisasi tersebut.
3) Agar mahasiswa mampu memahami tujuan
pemahaman dari organisasi-organisasi tersebut.
4)
Agar mahasiswa mengetahui titik
temu antara NU dan Muhammadiyah.
D.
METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini
yaitu dengan cara meresum artikel-artikel tentang sejarah, visi, misi, dan cara
pandang antara NU dan Muhammadiyah yang
terdapat di internet.
B A B II
PEMBAHASAN
A.
ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
I . SEJARAH
BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
Tujuan didirikannya NU adalah
menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keterbelakangan baik secara mental,
maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat
penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan
dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke
mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini
gigih melawan kolonialisme, merespon
kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian
pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan
"Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu,
maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak
menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini
membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari
anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga
tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah
yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh
NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih
untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang
dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab
Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang
terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di
dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di
Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing.
Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memper-juangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan
sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai
organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu
untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk
organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344
H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar
organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan
rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan
dan politik[10].
II . PEMIKIRAN-PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan
akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari
pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam
bidang teologi. Kemudian
dalam bidang fiqih lebih
cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan
mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana
yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun
1984, merupakan
momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
III . BASIS PENDUKUNG
Dalam menentukan basis pendukung
atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota,
pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika
istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada
satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak
ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik,
ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau
diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari
PPP.
Dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat
dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham keagamaan NU.
Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu
berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU
& Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri
Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan
jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka
yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini
semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU
terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Perkembangan terakhir
pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari mereka adalah
rakyat jelata, baik di kota maupun di desa.
Mereka memiliki
kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang
sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah.
Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang
merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami
pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka
penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri.
Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka
saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan
terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas,
sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan
ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu
selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk
negara-negara Barat. Hanya saja para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan
secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
IV . USAHA ORGANISASI NU
Usaha-usaha yang dilakukan
organisasi NU antara lain:
1. Di bidang agama, melaksanakan
dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat
persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan,
menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk
membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini
terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah
tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya,
mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai
keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan
pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan
berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan
Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat
bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi
masyrakat.
V . PROSPEKTIF
ASWAJA NU
Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup
mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin Aswaja NU selama ini dinilai sebagai
sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara
mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja
NU untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang
melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah
Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi
perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri doktrin Aswaja NU
dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana konstruksi
fiqh.
Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus
dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir,
bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja
berarti bersikap dengan menggunakan Manhaj Tawasuth.8 Dalam
wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu).
Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta
generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang
dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf),
tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan
mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial
bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak
dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap
umat lain saling menghargai.
Lebih menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih
memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini karena
rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun
belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH.
Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah
satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen
wacana pemikirannya tidak ta’asub.9 Ini artinya doktrin itu bukan
kebenaran absolut, yang tidak bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan
pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah,
sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan
reinterpretasi terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang NU
berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar,
mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti
Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa,
tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin
hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara
manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Aswaja sangat
prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.10
Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap
perkembangan pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran
kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang
lebih progresif.
Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era
mendatang dan kiranya perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika
pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut
langit di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang
selalu berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang
lebih baik.
Pertama kali NU terjun pada politik
praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan
kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup
berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah
PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI,
terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
B.
ORGANISASI MUHAMMADIYAH
I . SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun
1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912 Masehi[1]. Organisasi
ini didirian oleh KH Ahmad Dahlan dan merupakan salah satu organisasi islam
yang tertua[2].
Muhammadiyah bersama Nahdlatul Ulama (NU) sering disebut sebagai dua pilar atau
sayap islam di Nusantara[3].
Nama kecil KH Muhammad Dahlan ialah Muhammad Darwis. Semasa kecilnya, Muhammad
Darwis tak pernah pergi ke sekolah. Ayah Darwis sendirilah yang mendidiknya,
seperti mengaji sebelum mengirimkannya ke ulama lain untuk memperdalam
agamanya. Kemudian ia menuntut ilmu di Mekkah dan melaksanakan ibadah haji pada
tahun 1890 saat ia berusia 22 tahun. Setelah melaksanakan haji, ia berganti
nama menjadi Ahmad Dahlan. Beliau pernah berguru selama 2 tahun kepada Syekh
Ahmad Chatib, ulama kelahiran Bukittinggi yang berkedudukan di Masjid Al-Haram
sebagai imam mazhab Syafii. Beliau juga diperkenalkan kepada Hasyim Asy’ari,
yang kelak menjadi pendiri NU[4].
Sekembalinya dari Mekkah, beliau mulai mempraktekkan ilmu falak (astronomi) di
Yogya. Hal yang pertama yang beliau coba ialah mengenai arah kiblat shalat.
Saat itu, di Indonesia orang melakukan shalat persis menghadap ke barat.
Padahal, menurut perhitungan Dahlan, seharusnya agak ke utara sedikit. Ketika
beliau mencoba membuat garis shaf baru di masjid Kesultanan Yogyakarta,
penghulu masjid menjadi murka. Penghulu tersebut bersama anak buahnya berniat
merusak surau Dahlan. Karena peristiwa itu, Dahlan berniat hijrah dari Yogya,
namun Kyai Shaleh, kakak iparnya mengurungkan niatnya. Kemudian Dahlan
menyebarkan fatwa-fatwanya tersebut sambil berdagang.
Tahun 1909 beliau masuk ke Budi Utomo. Mengingat anggota Budi Utomo umumnya
akan bekerja di pemerintahan, beliau berharap dapat mengajarkan agamanya di
sekolah-sekolah pemerintah. Harapan tersebut disambut mantap oleh kalangan Budi
Utomo karena ajaran Dahlan membuat islam terasa selaras dengan cara berfikir
anggota perkumpulan itu.
Pada suatu saat, mereka menganjurkan agar Dahlan membentuk organisasi bagi
penyebaran pahamnya. Alhasil, pada tanggal 18 Nopember 1912, Muhammadiyah resmi
berdiri. Ada dua tujuan berdirinya Muhammadiyah ini:
a. Menyebarkan pengajaran Kanjeng
nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra dalam regentie Djogjakarta[5].
b. Memajukan hal agama islam
kepada anggota-anggotanya.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah terus saja membangun sekolah, masjid,
poliklinik, dan kegiatan sosial lainnya. Muhammadiyah memang sudah menjadi
kultur, bukan lagi organisasi. Seperti yang dikatakan oleh Taufik Abdullah,
organisasi pembawa tradisi pembaruan Islam di Indonesia[6].
II ).
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah adalah
sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW.
Tujuan utama
Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam
proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur
dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan
Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat
yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan
yang dimiliki Muhammadiyah yang berjumlah ribuan). Menampilkan ajaran Islam
bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan
berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan
tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang
ekstrem.
Dalam
pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat
Ali Imran ayat 104 yang artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat tersebut,
menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat
dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang
juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan
perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya
organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya[7].
Muhammadiyah yang merupakan sebuah
gerakan sosial keagamaan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini tak lepas
dari gerakan pembaharuan dan suatu fenomena modern pada saat ini. Ciri
kemodernan ini, menurut Dr. M. Amien Rais, ada tiga hal pokok:
a. Bentuk gerakannya yang
terorganisasi.
b. Aktivitas pendidikannya yang mengacu pada model sekolah
modern untuk ukuran zamannya.
c. Pendekatan teknologis yang digunakan dalam mengembangkan aktivitas
organisasi terutama amal usahanya.
Kendatipun Muhammadiyah lahir
sebagai suatu perwujudan dari suatu proses pemikiran yang mendalam, tetapi yang
diberikan Muhammadiyah kepada masyarakat bukanlah dalam bentuk gerakan
pemikiran semata-mata, akan terapi diaplikasikan berupa amal nyata di tengah-tengah
masyarakat[8].
Muhammadiyah adalah persyarikatan
yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakannya ialah Dakwah Islam dan Amar
Ma'ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang, yaitu perseorangan dan
masyarakat. Dakwah dan Amar Ma'ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi
kepada dua golongan, antara lain kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan
(tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang
kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama
Islam.
Adapun da'wah Islam dan Amar Ma'ruf
nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan
bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan
mengharap keridlaan Allah semata-mata.
Dengan melaksanakan dakwah Islam dan
amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah
menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya"[9].
C. TITIK TEMU ANTARA NU DAN MUHAMMDIYAH
Muhammadiyah dan NU
adalah organisasi bukan masalah fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia
Muhammadiyah dan NU adalah mewakili dua golongan besar ummat islam secara fiqih
juga. Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”(begitu ilmuan menyebut), yang
sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti
Persis(Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul
Ulama) mewakili Kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul
Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua organisasi
memiliki berbagai pebedaaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata
adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang
(bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan ,
bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud
sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhadulillah perbedaan pandangan ini sudah
tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar
dari keduanya.
Pandangan antara
keduanya memang berasal dari “madrasah”(school of thought) berbeda, yang
sesungguhnya sudah sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern
seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat
rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperi Ibnu Taimiyyah,
Muhamad Abdul Wahab. Wacana pemikran modern misalnya membuka pintu ijtihad
kembali ke al-qur’an dan sunnah, tidak boleh taqlid, menghidupkan pemikiran
islam.
Sedang wacana salaf
adalah bebaskan takhayyul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Tetapi dalam
perkembangan yang dominan terutama di grass rootnya adalah wacana salaf.
Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah,
banyak kategori TBC tersebut justru diamalkan dikalangan NU, bahkan di anggap
sunnah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis, dan rasional, Muhammdiyah
diikuti kalangan terdidik dan masyarakat kota.
Disisi lain NU
(Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir
untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak
kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah,
pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad
Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad
Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung
pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat
tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru
kritis terhadap pemikiran mereka.
Berikut secara ringkas
perbadaan pandangan antara keduanya:
MASALAH
|
NU
|
MUHAMMADIYAH
|
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
|
Mengikuti paham Asy’ariyah/Maturidiyah
|
Mengikuti paham
salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
|
Fiqih
|
Keharusan mengikuti salah satu madzhab
|
Langsung kepada
Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
|
Tasawwuf/thariqah
|
Menerima tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
|
Menolak tasawwuf dan
thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, missal
HAMKA dengan tasawwuf modernya)
|
Pemikiran yang
dominan
|
Pemikir Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
|
Ibnu Taimiyah,
Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
|
*Istilah wahabi diberikan
oleh kelompok lain, meraka sendiri lebih menyukai disebut muwahhdin(orang yang
mengesakan).
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak
masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka’at
dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam
mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat
jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain
sebagainya.
diluar peribadan itu masih ada perbedaan lain, misalnya orang NU suka kenduri
sedangkan orang Muhammadiyah tidak mau mengundang tetapi mau diundang.
Kesediaan menghadiri undangan kenduri bagi Muhammadiyah lantas juga melahirkan
kritik dari orang NU, misalnya orang Muhammadiyah mau diberi akan tetapi tidak
mau memberi.
Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara
tajam. Akan tetapi , sebagaimana masyarakat desa pada umumya, masih memiliki
lembaga yang mampu menyatukan di antara kelompok-kelompok itu. Misalya,
peristiwa pernikahan, khitanan, kematian, kegiatan desa yang terkait dengan
pemerintahan dan sejenisnya. Betapun tajamnya perbedaan itu tetapi dengan mudah
dapat disatukan kembali.
Perbedaan pandangan itu, biasanya dilontarkan dalam bentuk sindiran dan bahkan
juga ejekan. Sindiran atau ejekan kelompok lain, jika dimaksudkan sebagai cara
dakwah untuk membangun kesadaran orang lain, sesungguhnya justru kontra
produktif. Sindiran atau ejekan itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali
kebencian. Dan seseorang yang dibuat benci tidak akan mengikuti pikiran,
apalagi jejak langkah orang yang melontarkan kritik dan ejekan itu. Oleh karena
itu, saya kira perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak terlalu berhasil
dengan cepat sebagai salah satu sebabnya adalah cara dakwahnya dilakukan dengan
melalui kritik-kritik itu.
Mengikuti konsep yang akhir-akhir ini yang dilontarkan oleh beberapa angota
pimpinan pusat Muhammadiyah tentang dakwah kultural, mungkin itu tepat
dijalankan. Saya berkeyakinan, andaikan Muhammadiyah menggunakan pendekatan
kultural, dan tidak melakukan pendekatan menang kalah sebagaimana yang banyak
dilakukan pada saat itu, maka paham ini tidak akan menemui eksistensi yang
cukup kuat.
Tokoh perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya juga tidaklah terlalu mendasar
apalagi NU sangat toleran terhadap perbedaan itu. Mereka sudah terbiasa dengan
pandangan berbagai macam madzhab, sehingga apa yang diintrodusir oleh Muhammadiyah
juga bukanlah hal yang baru. Jika ketika itu kegiatan dakwah dilakukan dengan
hati-hati, tidak terasakan nuansa menang dan kalah, maka umat islam tidak akan
terpolarisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, yang ternyata tidak mudah
untuk diutuhkan kembali.
Semangat dan gerakan dakwah menyampaikan risalah Rasulullah sebagaimana yang
telah banyak dilakukan baik oleh orang NU maupun Muhammadiyah adalah merupakan
misi yang sangat terpuji dan mulia. Akan tetapi, menurut Al-Qur’an dan juga Hadits
Nabi hal itu harus dilakukan dengan penuh hikmah agar jangan sampai menimbulkan
perasaan sakit hati yang kemudian berujung terjadi perpecahan. Selain itu,
apapun dalih yang digunakan semestinya cara-cara dakwah tidak boleh mengganggu
kesatuan dan persatuan umat islam. Umat islam harus tetap bersatu. Begitulah
pesan al-qur’an dan tauladan Rasulullah SAW.
Apabila kita sudah mengetahui perbedaan antara NU dan Muhammadiyah tentunya
kita bisa mengetahui persamaannya. dari perbedaan dan persamaan itulah kita
bisa menentukan titik temu keduanya yang merupakan organisasi islam
terbesar di Indonesia.
B A B III
PENUTUP
I .
KESIMPULAN
Dengan
membahas semua ini, penulis berharap pembaca mampu memahami semua aspek-aspek
dari beberapa ormas NU dan Muhammadiyah yang telah
di jabarkan di atas. Sudah selayaknya kita mengetahui organisasi ini jauh lebih
dalam hingga ke akar-akarnya, terutama sejarah berdirinya dan beberapa
pemikiran-pemikiran yang mereka cetuskan. Sesungguhnya tidak ada satu pun prinsip di
dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya
justru saling menguatkan. Kalau pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan
pada prinsip dan AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak
bangsa, tapi mengatas-namakan kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan
perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas itu
sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka, atau
detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing ulama mereka,
lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya, tetapi lebih
merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat pilihan.
Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam
teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini
perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya
kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada
mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan
kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak
produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
Tidak pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya lantaran
dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah. Sebaliknya, tidak ada
anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara dia lebih merajihkan pendapat
tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi kalau kita mengingat bahwa perbedaan
pendapat itu sebenarnya bukan hak paten masing-masing ormas. Juga bukan trade
mark yang unik dan membedakan jati dirinya.
Organisasi-organisasi ini membangun
Indonesia agar lebih maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Organisasi yang sudah
kita ketahui di pembahasan tadi mempunyai pemikiran dan tujuan yang sama, hanya
saja beberapa aspek sosial, politik dan budaya yang sedikit berbeda. Seperti
Muhammadiyah yang tujuan utamanya adalah mengembalikan
seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan
ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
II ).
SARAN
Walapun makalah ini telah di uasahakn penyusunuannya secermat mungkin, namun
tidak tertutup kemungkinan masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi
penjelasan ataupun penulisannya. Oeh karena itu, dengan kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik yang sifatnya konstruktif serta koreksi dari pembaca yang
budiman. Dan semoga makalah ini bisa membawa kemanfaatan.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, M. Rusli. 1986. Muhammadiyah Dalam Kritik
dan Komentar. Jakarta: Rajawali.
Nashir, Haedar. 2000. Revitalisasi Gerakan
Muhammadiyah. Yogyakarta: BIGRAF Publising.
Rais, Amien. 1995. Intelektualisme Muhammadiyah.
Bandung: Mizan.
Hasyim, Umr. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus.
Surabaya: Bina Ilmu.
Kepribadian Muhammadiyah. Dikutip
dari situs www.muhammadiyah.or.id.
Muhammadiyah. Dikutip dari situs
id.wikipedia.org/wiki/muhammadiyah.
Nahdlatul ulama’. Dikutip dari situs
id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama.
[1] Umar Hasyim, Muhammadiyah
Jalan Lurus. (Surabaya: Bina Ilmu, 1990). Hlm v.
[2] Haedar
Nashir. Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah. (Yogyakarta: BIGRAF Publising,
2000). Hlm v.
[3] Ibid.
Hlm ix.
[4] Rusli
Karim. Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar. (Jakarta: Rajawali, 1986). Hlm
3.
[5] Ibid.
Hlm 3-5.
[6] Ibid. hlm 8
[7] Muhammadiyah, dikutip dari situs
id.wikipedia.org/wiki/muhammadiyah.
[8] mien
Rais. Intelektualisme Muhammadiyah. (Bandung: Mizan, 1995). Hlm 9.
[9] Kepribadian
Muhammadiyah, dikutip dari situs www.muhammadiyah.or.id
[10] Nahdlatul
Ulama’. Dikutip dari situs id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama.
[11] Nahdlatul
Ulama’. Dikutip dari situs id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama.
Alfian, Muhammadiyah,
The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch
Colonialism, Yogyakarta: Gajahmada Press, 1969.
As Syafi’i,
Muhammad Idris, Al Risalah, (ed) Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1939 M/1358 H.
As-Syatibi, Abi
Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras,
Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Aziz, Moh Ali, “
Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog
Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, Surabaya, 2001.
Bruinessen, Martin
van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta:
LkiS, 1994.
Benda, Herry J,
Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta : Pustaka
Jaya, 1980.
Benda, Herri J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemah Daniel
Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Ca. Van Peursen, Strategi Kebudayan, Terjemah Dick
Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Durkheim, Emile, On
Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah, Chicago University
Press, 1973.
Falah, M. Fajrul, Jamiyyah
NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH.
Darwis (ed.) Yogyakarta: LkiS, 1994.
Hamzah
Wiryosukarto, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember
: UNMUH, 1985.
Hidayat,
Kamarudin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta :
Paramadina, 1996.
Hadikusumo, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam dari
Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan, Yogyakarta: Persatuan, tt.
Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok
Ayat-Ayat Al-Quran, Semarang: PWM. Jawa Tengah , tt.
Ismail, Faisal, Islam
Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah,Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Unterpretasi Untuk Aksi, Bandung : Mizan,1993.