Monkay kung fuu

Cute Rocking Baby Monkey

Sabtu, 30 November 2013

“TITIK TEMU ANTARA NU DAN MUHAMMADIYAH”



BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Gerakan pembaharuan merupakan suatu perkumpulan terstruktur yang mempunyai misi sebagai pembenahan pemahaman, kepercayaan ataupun agama untuk menjadikan ke depan lebih baik. Gerakan tersebut sangat berarti eksistensinya, terutama dalam memperjuangkan dan menyempurnakan agama. Agama islam pada khususnya, membutuhkan gerakan tersebut tidak lain supaya keberadaannya tetap ada dan tidak terhapus dari alam (hilang / musnah).
Gerakan ini tidak mungkin seluruh dunia ini sama dan selaras pemahamannya. Hal ini dikarenakan cara pandang individu atau kelompok yang sangat majemuk dan kompleks dalam memahami sesuatu. Perkembangan dan keadaan zaman membuat dua pedoman hidup dinul islam, Al-Qur’an dan Hadits mengalami perubahan dalam menafsirkannya. Dikarenakan timbul penafsiran yang berbeda-beda sehingga memunculkan beberapa  penafsir yang sangat kompleks. Kemajemukan pemahaman ini yang kemudian para penafsir itu menyebarluaskan argumennya kepada masyarakat yang semakin lama semakin besar dan membentuk suatu komunitas yang disebut gerakan pembaharu.
Di indonesia, gerakan pembaharu bermacam-macam. Namun yang paling termasyhur dan terkenal hanya ada dua, Yaitu; NU dan Muhammadiyah yang akan dibahas didalam makalah ini. Antara keduanya memiliki sejarah, visi, misi, cara pandang dan tujuan yang berbeda satu sama lain. Walaupun begitu, mereka tidak bertentangan dengan landasan pokok atau syari’at agama islam.
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Kalau NU lahir pada 31 januari 1926, yang sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagai sebuah organisasi yang mewakili golongan muslim tradisional, sedangkan Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada 18 nopember 1912, yang juga sering dikatakan sebagai perkumpulan yang mewakili muslim modernis.
Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya merupakan organisasi tujuh zaman (istilah Mas Surya Paloh). Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, Pendudukan Jepag, Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Dan Sekarang Era Reformasi.
Dilihat dari sudut historitasnya, keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing keduaya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius kedalam lokus keindonesiaan.
Pada optik itulah, koinsidensi historis NU dan Muhammadiyah yang terjadi dan ini memiliki makna yang sangat penting. Setelah melalui perjalanan panjang dengan segala suka dan dukanya, maka kebersamaan waktu antara sidang tanwir Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu) era keduanya dalam konteks sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk menfokuskan dan mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.
Optimalisasi kerja kultural itu dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun Muhammdiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan koredornya “kembali ke Khithaah 1926” dan Muhamadiyah dengan slogannya “High politics” atau “politik luhur”, perlu semakin dimantapkan sebagai visi  dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat. Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural. Dengan adanya gerakan pembaharu tersebut harapan kedepan bisa menjadi lebih baik, AMIIIN.....!!

B.    RUMUSAN MASALAH
1)    Bagaimana sejarah berdirinya organisasi NU dan Muhammadiyah?
2)    Apa saja bentuk pemikiran-pemikiran masing-masing organisasi tersebut?
3)    Apa tujuan dari organisasi-organisasi yang di jelaskan dalam makalah ini?
4)    Bagamana titik temu NU dan Muhammadiah?

C. TUJUAN
1)    Mendeskripsikan bagaimana sejarah berdirinya organisasi NU dan Muhammadiyah.                       
2)    Menjelaskan bentuk pemikiran-pemikiran dari masing-masing organisasi tersebut.
3)    Agar mahasiswa mampu memahami tujuan pemahaman dari organisasi-organisasi tersebut.
4)    Agar mahasiswa mengetahui titik temu antara NU dan Muhammadiyah.

D.       METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan cara meresum artikel-artikel tentang sejarah, visi, misi, dan cara pandang antara  NU dan Muhammadiyah yang terdapat  di internet.


 
B A B  II
PEMBAHASAN


A.                     ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA’ (NU)

I .     SEJARAH BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA’ (NU)

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H ) oleh KH. Hasyim Asy’ari dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Tujuan didirikannya NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).

Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memper-juangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai,
 akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik[10].





       II .             PEMIKIRAN-PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

III .      BASIS PENDUKUNG
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP.
 Dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham keagamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa.
             Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.

IV .      USAHA ORGANISASI NU
Usaha-usaha yang dilakukan organisasi NU antara lain:
1.    Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2.    Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3.    Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4.    Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5.    Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
V .       PROSPEKTIF ASWAJA NU
Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin Aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh.
Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti bersikap dengan menggunakan Manhaj Tawasuth.8 Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu). Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.
Lebih menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak ta’asub.9 Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang NU berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar, mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Aswaja sangat prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.10

Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif.
Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR[11].=

B.     ORGANISASI MUHAMMADIYAH

I .   SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
               Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912 Masehi[1]. Organisasi ini didirian oleh KH Ahmad Dahlan dan merupakan salah satu organisasi islam yang tertua[2]. Muhammadiyah bersama Nahdlatul Ulama (NU) sering disebut sebagai dua pilar atau sayap islam di Nusantara[3].
               Nama kecil KH Muhammad Dahlan ialah Muhammad Darwis. Semasa kecilnya, Muhammad Darwis tak pernah pergi ke sekolah. Ayah Darwis sendirilah yang mendidiknya, seperti mengaji sebelum mengirimkannya ke ulama lain untuk memperdalam agamanya. Kemudian ia menuntut ilmu di Mekkah dan melaksanakan ibadah haji pada tahun 1890 saat ia berusia 22 tahun. Setelah melaksanakan haji, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Beliau pernah berguru selama 2 tahun kepada Syekh Ahmad Chatib, ulama kelahiran Bukittinggi yang berkedudukan di Masjid Al-Haram sebagai imam mazhab Syafii. Beliau juga diperkenalkan kepada Hasyim Asy’ari, yang kelak menjadi pendiri NU[4].
               Sekembalinya dari Mekkah, beliau mulai mempraktekkan ilmu falak (astronomi) di Yogya. Hal yang pertama yang beliau coba ialah mengenai arah kiblat shalat. Saat itu, di Indonesia orang melakukan shalat persis menghadap ke barat. Padahal, menurut perhitungan Dahlan, seharusnya agak ke utara sedikit. Ketika beliau mencoba membuat garis shaf baru di masjid Kesultanan Yogyakarta, penghulu masjid menjadi murka. Penghulu tersebut bersama anak buahnya berniat merusak surau Dahlan. Karena peristiwa itu, Dahlan berniat hijrah dari Yogya, namun Kyai Shaleh, kakak iparnya mengurungkan niatnya. Kemudian Dahlan menyebarkan fatwa-fatwanya tersebut sambil berdagang.
               Tahun 1909 beliau masuk ke Budi Utomo. Mengingat anggota Budi Utomo umumnya akan bekerja di pemerintahan, beliau berharap dapat mengajarkan agamanya di sekolah-sekolah pemerintah. Harapan tersebut disambut mantap oleh kalangan Budi Utomo karena ajaran Dahlan membuat islam terasa selaras dengan cara berfikir anggota perkumpulan itu.


               Pada suatu saat, mereka menganjurkan agar Dahlan membentuk organisasi bagi penyebaran pahamnya. Alhasil, pada tanggal 18 Nopember 1912, Muhammadiyah resmi berdiri. Ada dua tujuan berdirinya Muhammadiyah ini:
a.    Menyebarkan pengajaran Kanjeng nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra dalam regentie Djogjakarta[5].
b.    Memajukan hal agama islam kepada anggota-anggotanya.
               Dalam perkembangannya, Muhammadiyah terus saja membangun sekolah, masjid, poliklinik, dan kegiatan sosial lainnya. Muhammadiyah memang sudah menjadi kultur, bukan lagi organisasi. Seperti yang dikatakan oleh Taufik Abdullah, organisasi pembawa tradisi pembaruan Islam di Indonesia[6].

II ).  PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah yang berjumlah ribuan). Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya[7].
Muhammadiyah yang merupakan sebuah gerakan sosial keagamaan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini tak lepas dari gerakan pembaharuan dan suatu fenomena modern pada saat ini. Ciri kemodernan ini, menurut Dr. M. Amien Rais, ada tiga hal pokok:

a.    Bentuk gerakannya yang terorganisasi.
b.   Aktivitas pendidikannya yang mengacu pada model sekolah modern untuk ukuran zamannya.
c.  Pendekatan teknologis yang digunakan dalam mengembangkan aktivitas organisasi terutama amal usahanya.
Kendatipun Muhammadiyah lahir sebagai suatu perwujudan dari suatu proses pemikiran yang mendalam, tetapi yang diberikan Muhammadiyah kepada masyarakat bukanlah dalam bentuk gerakan pemikiran semata-mata, akan terapi diaplikasikan berupa amal nyata di tengah-tengah masyarakat[8].
Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakannya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang, yaitu perseorangan dan masyarakat. Dakwah dan Amar Ma'ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan, antara lain kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.
Adapun da'wah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata.
Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya"[9].


C.    TITIK TEMU ANTARA NU DAN MUHAMMDIYAH
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi bukan masalah fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia Muhammadiyah dan NU adalah mewakili dua golongan besar ummat islam secara fiqih juga. Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”(begitu ilmuan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis(Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili Kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua organisasi memiliki berbagai pebedaaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhadulillah perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.
Pandangan antara keduanya memang berasal dari “madrasah”(school of thought)  berbeda, yang sesungguhnya sudah sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperi Ibnu Taimiyyah, Muhamad Abdul Wahab. Wacana pemikran modern misalnya membuka pintu ijtihad kembali ke al-qur’an dan sunnah, tidak boleh taqlid, menghidupkan pemikiran islam.
Sedang wacana salaf adalah bebaskan takhayyul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang dominan terutama di grass rootnya adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak kategori TBC tersebut justru diamalkan dikalangan NU, bahkan di anggap sunnah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis, dan rasional, Muhammdiyah diikuti kalangan terdidik dan masyarakat kota.
Disisi lain NU (Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.


Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Berikut secara ringkas perbadaan pandangan antara keduanya:
MASALAH
NU
MUHAMMADIYAH
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
Mengikuti paham Asy’ariyah/Maturidiyah
Mengikuti paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
Fiqih
Keharusan mengikuti salah satu madzhab
Langsung kepada Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
Tasawwuf/thariqah
Menerima tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
Menolak tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf modernya)
Pemikiran yang dominan
Pemikir Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
*Istilah wahabi diberikan oleh kelompok lain, meraka sendiri lebih menyukai disebut muwahhdin(orang yang mengesakan).
            Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka’at dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain sebagainya.
            diluar peribadan itu masih ada perbedaan lain, misalnya orang NU suka kenduri sedangkan orang Muhammadiyah tidak mau mengundang tetapi mau diundang. Kesediaan menghadiri undangan kenduri bagi Muhammadiyah lantas juga melahirkan kritik dari orang NU, misalnya orang Muhammadiyah mau diberi akan tetapi tidak mau memberi.
            Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara tajam. Akan tetapi , sebagaimana masyarakat desa pada umumya, masih memiliki lembaga yang mampu menyatukan di antara kelompok-kelompok itu. Misalya, peristiwa pernikahan, khitanan, kematian, kegiatan desa yang terkait dengan pemerintahan dan sejenisnya. Betapun tajamnya perbedaan itu tetapi dengan mudah dapat disatukan kembali.
            Perbedaan pandangan itu, biasanya dilontarkan dalam bentuk sindiran dan bahkan juga ejekan. Sindiran atau ejekan kelompok lain, jika dimaksudkan sebagai cara dakwah untuk membangun kesadaran orang lain, sesungguhnya justru kontra produktif. Sindiran atau ejekan itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kebencian. Dan seseorang yang dibuat benci tidak akan mengikuti pikiran, apalagi jejak langkah orang yang melontarkan kritik dan ejekan itu. Oleh karena itu, saya kira perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak terlalu berhasil dengan cepat sebagai salah satu sebabnya adalah cara dakwahnya dilakukan dengan melalui kritik-kritik itu.
            Mengikuti konsep yang akhir-akhir ini yang dilontarkan oleh beberapa angota pimpinan pusat Muhammadiyah tentang dakwah kultural, mungkin itu tepat dijalankan. Saya berkeyakinan, andaikan Muhammadiyah menggunakan pendekatan kultural, dan tidak melakukan pendekatan menang kalah sebagaimana yang banyak dilakukan pada saat itu, maka paham ini tidak akan menemui eksistensi yang cukup kuat.
            Tokoh perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya juga tidaklah terlalu mendasar apalagi NU sangat toleran terhadap perbedaan itu. Mereka sudah terbiasa dengan pandangan berbagai macam madzhab, sehingga apa yang diintrodusir oleh Muhammadiyah juga bukanlah hal yang baru. Jika ketika itu kegiatan dakwah dilakukan dengan hati-hati, tidak terasakan nuansa menang dan kalah, maka umat islam tidak akan terpolarisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, yang ternyata tidak mudah untuk diutuhkan kembali.
            Semangat dan gerakan dakwah menyampaikan risalah Rasulullah sebagaimana yang telah banyak dilakukan baik oleh orang NU maupun Muhammadiyah adalah merupakan misi yang sangat terpuji dan mulia. Akan tetapi, menurut Al-Qur’an dan juga Hadits Nabi hal itu harus dilakukan dengan penuh hikmah agar jangan sampai menimbulkan perasaan sakit hati yang kemudian berujung terjadi perpecahan. Selain itu, apapun dalih yang digunakan semestinya cara-cara dakwah tidak boleh mengganggu kesatuan dan persatuan umat islam. Umat islam harus tetap bersatu. Begitulah pesan al-qur’an dan tauladan Rasulullah SAW.
            Apabila kita sudah mengetahui perbedaan antara NU dan Muhammadiyah tentunya kita bisa mengetahui persamaannya. dari perbedaan dan persamaan itulah kita bisa menentukan titik temu keduanya yang merupakan organisasi islam terbesar  di Indonesia.
B A B  III

PENUTUP


I .   KESIMPULAN
            Dengan membahas semua ini, penulis berharap pembaca mampu memahami semua aspek-aspek dari beberapa ormas  NU dan Muhammadiyah yang telah di jabarkan di atas. Sudah selayaknya kita mengetahui organisasi ini jauh lebih dalam hingga ke akar-akarnya, terutama sejarah berdirinya dan beberapa pemikiran-pemikiran yang mereka cetuskan. Sesungguhnya tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan. Kalau pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi mengatas-namakan kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas itu sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka, atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya, tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat pilihan.
Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
Tidak pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah. Sebaliknya, tidak ada anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara dia lebih merajihkan pendapat tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi kalau kita mengingat bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan hak paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark yang unik dan membedakan jati dirinya.


Organisasi-organisasi ini membangun Indonesia agar lebih maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Organisasi yang sudah kita ketahui di pembahasan tadi mempunyai pemikiran dan tujuan yang sama, hanya saja beberapa aspek sosial, politik dan budaya yang sedikit berbeda. Seperti Muhammadiyah yang tujuan utamanya adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.

  II ). SARAN
            Walapun makalah ini telah di uasahakn penyusunuannya secermat mungkin, namun tidak tertutup kemungkinan masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi penjelasan ataupun penulisannya. Oeh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik yang sifatnya konstruktif serta koreksi dari pembaca yang budiman. Dan semoga makalah ini bisa membawa kemanfaatan.



DAFTAR PUSTAKA



Karim, M. Rusli. 1986. Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Rajawali.
Nashir, Haedar. 2000. Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: BIGRAF Publising.
Rais, Amien. 1995. Intelektualisme Muhammadiyah. Bandung: Mizan.
Hasyim, Umr. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus. Surabaya: Bina Ilmu.
Kepribadian Muhammadiyah. Dikutip dari situs www.muhammadiyah.or.id.
Muhammadiyah. Dikutip dari situs id.wikipedia.org/wiki/muhammadiyah.
Nahdlatul ulama’. Dikutip dari situs id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama.

[1]          Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus. (Surabaya: Bina Ilmu, 1990). Hlm v.
[2]          Haedar Nashir. Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah. (Yogyakarta: BIGRAF Publising, 2000). Hlm v.
[3]          Ibid. Hlm ix.
[4]          Rusli Karim. Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar. (Jakarta: Rajawali, 1986). Hlm 3.
[5]          Ibid. Hlm 3-5.
[6]          Ibid. hlm 8
[7]          Muhammadiyah, dikutip dari situs id.wikipedia.org/wiki/muhammadiyah.
[8]          mien Rais. Intelektualisme Muhammadiyah. (Bandung: Mizan, 1995). Hlm 9.
[9]          Kepribadian Muhammadiyah, dikutip dari situs www.muhammadiyah.or.id
[10]        Nahdlatul Ulama’. Dikutip dari situs id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama.
[11]        Nahdlatul Ulama’. Dikutip dari situs id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama.

Alfian, Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gajahmada Press, 1969.
As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, (ed) Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H.
As-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Aziz, Moh Ali, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur,  Surabaya, 2001. 
Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Benda, Herry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.
Benda, Herri J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Ca. Van Peursen, Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Durkheim, Emile, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah, Chicago University Press, 1973.
Falah, M. Fajrul, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) Yogyakarta: LkiS, 1994.
Hamzah Wiryosukarto, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH, 1985.
Hidayat, Kamarudin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Hadikusumo, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan, Yogyakarta: Persatuan, tt.
Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, Semarang: PWM. Jawa Tengah , tt.
Ismail, Faisal, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah,Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, Bandung : Mizan,1993.