BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada awal sejarahnya
ilmu pengetahuan hanya dipraktekkan oleh ilmuan amatir atas dasar hobi. Namun,
dalam perkembangan berikutnya, ilmu pengetahuan mulai terinstitusionalisasi (institusionalization
of science). Dimulai dengan berdirinya beberapa organisasi yang menjadi
wadah pertemuan para scientist untuk mengembangkan keilmuannya. Tahap
selanjutnya, adalah tahapan academization of science, dimana dalam
tahapan ini, ilmu pengetahuan terpusat pada kegiatan akademik universitas.
Terlepas dari pola pengembangannya di atas, sejarah telah mencatat bahwa ilmu
merupakan pendobrak pintu kebodohan yang mengunci kemajuan dan peradaban
manusia. Rangkaian isu “irrasional” yang melilit kehidupan manusia, sedikit
demi sedikit terkikis bersamaan dengan derasnya arus penemuan-penemuan yang
berguna untuk kemudahan hidup manusia. Pada tataran aksiologis, ilmu merupakan
hasil kreasi manusia yang diciptakan guna memudahkan kehidupan manusia.
Secara epistemologis
dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari
akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergantian dan
penyerapan teori dari masa ke masa. Kemunculan teori baru yang menguatkan teori
lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah
yang tidak bisa diselesaikan oleh paradigma sebagai referensi riset saja,
sehingga menyebabkan berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah
dan membimbing riset berikutnya (melahirkan revolusi sains). Tumbuh-kembangnya
teori dan pergeseran paradigma merupakan pola perkembangan yang biasa dari ilmu
yang telah matang. Selain itu, berkembangnya peralatan analisis juga mendorong
semakin berkembangnya ilmu. Sehingga dengan demikian, perkembangan ilmu
pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak,
melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Karenanya, untuk memahami
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian atau
klasifikasi secara periodik.
Namun ironisnya, dalam
pemaparan sejarah yang ada, khususnya sejarah ilmu pengetahuan, menurut
berbagai sumber menyimpulkan bahwa terjadi distorsi terhadap fakta sejarah. Ada
semacam upaya penghapusan jejak hasil peradaban dan kemajuan komunitas tertentu
yang pernah menorehkan keilmuan yang begitu gemilang. Dalam hal ini, sejarah
peradaban dan keemasan Islam yang menjadi “korban”, sehingga pada akhirnya
memicu protes dari kalangan Ilmuan Islam. Berkaitan dengan di atas, urgensi pemaparan
sejarah ilmu pengetahuan merupakan sebuah kemestian. Sehingga proses
kesinambungan keilmuan dari masa ke masa akan mudah ditelusuri. Selain itu,
akan memperjelas rantai ilmu dalam lingkaran sejarah yang mengitarinya,
mengingat akhir-akhir ini ada pihak tertentu yang sengaja melepas tanggung
jawab moralnya sebagai akademisi untuk enggan bersikap objektif dalam pemaparan
sejarah.
Padahal, idealnya
sejarah adalah rekaman tentang semua rentetan peristiwa yang telah terjadi,
yang berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada
tanpa distorsi sedikitpun, tetapi pada kenyataannya ia hanya mengungkap
sebagian rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari
rekayasa yang biasanya dilakukan oleh penguasa politik dan kepentingan. Dengan demikian, pemaparan perkembangan ilmu
dibawah ini akan memuat sejarah ilmu secara objektif, menyimpulkan dari
berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kepercayaannya. Untuk
memudahkan penelusuran, akan dibagi berdasarkan periodik, mengingat dalam
setiap periode sejarah pekembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas
tertentu. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada
peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu dimulai dari peradaban Yunani
dan diakhiri pada zaman kontemporer, secara ringkas disusun sebagai berikut:
1.2
Rumusan Masalah
1. Bahgaimana periodisasi Perkembangan ilmu?
2. Menjelaskan/Memberi gambaran tentang perkembangan ilmu dari zaman kuno
sampai zaman kontemporer?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui periodisasi perkembangan ilmu
2.
Mengetahui perkembangan ilmu dari zaman kuno
hingga zaman kontemporer
1.4
Metode Penulisan
Metode
yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan cara meresume beberapa
materi dari buku dan mengambil beberapa referensi dari artikel-artikel yang ada
pada internet yang selanjutnya dikaji dan dikembangka oleh penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Periodisasi
Perkembangan Ilmu
Secara garis besar,
Amsal Bakhtiar membagi periodisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman
renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer. Menurut George J. Mouly,
permulaan ilmu dapat diusut sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi
bahwa manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris
yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba
dikenal juga dengan masa pra-sejarah. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai
awal periodisasi ilmu di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu lahir
seiring dengan adanya manusia di muka bumi, hanya saja penamaan ilmu-ilmu itu
biasanya muncul belakangan. Dalam hal ini, George J. Mouly berbicara asal
muasal ilmu kaitannya dengan manusia, setidaknya ia memaparkan hubungan antara
ilmu dan manusia seperti ayam dan telur. Amsal Bakhtiar memilih untuk memulai
berbicara riwayat ilmu sejak ilmu mulai mudah “terindetifikasi”. Dibawah
ini akan memaparkan perkembangn ilmu pengetahuan sejak diputuskannya penamaan
ilmu, yaitu sejak zaman Yunani.
2.2. Ilmu dalam Peradaban Zaman Kuno
2.2.1
Ilmu pada Zaman Yunani
Di dalam banyak literatur menyebutkan bahwa periode
Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu pengetahuan dalam
sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini dilatarbelakangi dengan
perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat itu. Sebelumnya bangsa
Yunani masih diselemuti oleh pola pikir mitosentris, namun pada abad ke 6 SM di
Yunani lahirlah filsafat yang dikenal dengan the greek miracle.
Dengan paradigma ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat karena menjawab
persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap
mitologi atau tahayul yang irrasional.
Sebagaimana yang
dikatakan oleh George J. Mouly, dia membagi perkembangan ilmu pada tahap
animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Pada tahap animisme, manusia
menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi,
hantu dan berbagai makhluk halus. Pada tahap inilah pola pikir mitosentris
masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum berubah menjadi
logosentris. Seiring dengan berkembangannya waktu, filsafat dijadikan sebagai
landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga
berkembang pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu
aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Karena itu,
periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki
peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk
meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Jones dalam A
History of Western, mengatakan bahwa awal dan akar kebangkitan filsafat dan
sains Barat seperti sekarang ini adalah warisan intelektual Yunani. Para ahli pada zaman itu, mencoba membuat
konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari pemikiranya untuk
membangun merangkai bangunan ilmu bersifat mitologik (keteranganya didasarkan
atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya demitologisasi oleh para
pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras
(532 SM), herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi
pemikir lainya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah
puncaknya. Thales, yang dikenal dengan filosof tertua, mengucapakan “semua
adalah air”, dengan kata lain, dia berpendapat bahwa asal alam adalah air.
Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal,
ada dengan sendirinya. Dia mengatakan itu udara, udara merupakan sumber segala
kehidupan. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah.
Baginya kosmos tidak pernah berhenti (diam); ia selalu berubah, dan bergerak.
Pernyataan “semua mengalir” berarti semua berubah bukanlah pernyataan
sederhana. Bertolak belakang dengan Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa
realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah.
Phytagoras berusaha
menemukan kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun
sosial, dan personalitas bilangan. Ia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur
utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap
dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam
pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan
kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika.Jadi
setiap filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta.
Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justru merupakan
kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami
generasi setelahnya.Ravertz dalam bukunya Filsafat Ilmu menyebutkan, paling
tidak ada dua bidang kelimuan yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati
kemapanannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba
menerapkan metode yang menekankan observasi, dan kedua, geometri yang
sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu
hitung yang disusun secara khusus.
Periode setelah
Socrates disebut dengan zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani, karena pada
zaman ini kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan antara filsafat
alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato
(429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Plato, yang hiudp di awal abad
ke-4 S.M., adalah seorang filsuf earliest (paling tua) yang tulisan-tulisannya
masih menghiasi dunia akademisi hingga saat ini. Karyanya Timaeus merupakan
karya yang sangat berpengaruh di zaman sebelumnya; dalam karya ini ia membuat
garis besar suatu kosmogoni yang meliputi teori musik yang ditinjau dari sudut
perimbangan dan teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada saat itu.
Masa keemasan kelimuan bangsa Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322
SM). Ia adalah murid Plato, walaupun ia tidak sepakat dengan gurunya mengenai
soal-soal mendasar. Khususnya, ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi
dari kenyataan ilmiah. Dan ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan
besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika,
fisika, dan metafisika.
Logika Aristoteles
berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme
terdiri dari tiga premis:
- Semua manusia akan mati (premis mayor).
- Socrates seorang manusia (premis minor).
- Socrates akan mati (konklusi).
2.2.2
Ilmu pada Zaman Romawi
Ilmu pengetahuan yang pernah ditorehkan oleh Bangsa
Romawi tidak bisa dilepaskan dari bangunan ilmu pengetahuan yang telah
disumbangkan oleh bangsa Yunani. Di dalam banyak literatur yang ada, disebutkan
bahwa bangsa Romawi merupakan bangsa yang pertama kali mengaplikasikan
teori-teori yang pernah dirumuskan oleh bangsa Yunani, sehingga mata rantai
kelimuan yang mulai memudar yang seolah-olah putus dalam sejarah perkambangan
ilmu pengetahuan bangsa Yunani menjadi tumbuh kembali. Sehingga di dalam
lapangan inovasi ilmu pengetahuan, bangsa Romawi tidak banyak melahirkan
para pemikir yang ulung, konseptor yang handal, dan perumus teori dalam rangka
melebarkan sayap ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain, bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis dan
mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang
terkemuka. Memang ada dua ilmuan yang sangat besar yang hidup selama
pemerintahan Marcus Aurelius pada abad kedua masehi, namun keduanya adalah
bangsa Yunani. Namun yang perlu dicatat bahwa bangsa Romawi membuat pemikiran
spekulatif Yunani menjadi praktis dan dapat diterapakan dengan mudah. Kendati
demikian, bangsa Romawi bukan berarti tidak memiliki kontribusi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat bahwa bangsa Romawi
memiliki kemahiran dalam kemampuan keinsinyuran dan keterampilan
ketatalaksanaan serta mengatuur hukum dan pemerintahan. Sumbangan terbesar
bangsa Romawai kepada peradaban manusia terutama dalam bidang pemikiran sistem
hukum dan lembaga-lembaga politik, ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang
banyak diadopsi para pemikir Barat, antara lain : Ius Civile, Ius Gentium,
Ius Naturale.
Dari segi pemikiran ilmu politik,
Romawi memberikan pemahaman tentang teori imperium, antara lain:
- Kekuasaan dan otoritas negara
- equal rights (Persamaan hak politik)
- Governmental Contract (Kontrak Pemerintah)
- Pengadaptasian kekuasaan dan keagamaan
Para sejarawan
berspekulasi tentang penyebab kegagalan orang Romawi di bidang pengembangan
ilmu. Ada yang mencoba melihat perbudakan yang menghambat dorongan bagi
industri, sebagai penyebabnya.
2.3. Ilmu dalam Peradaban Abad
Pertengahan
Dominasi para teolog pada masa ini mewarnai aktivitas
ilmiah pergerakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari semboyan yang
berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancillla theologia atau abdi
agama. Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung
kebenaran agama. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan
bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Inilah yang dianggap sebagai salah satu
penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap (dark age). Usaha-usaha
menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar
seperti Alfred dan Charlemagne. Namun di Timur terutama di wiayah kekuasaan
Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa
pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban
dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof
Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.
2.3.1. lmu Pengetahuan Periode Islam
Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada zaman
Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang
bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan
hadis.
Persepsi ini bertemu dengan persepsi
yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di
kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti
Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir
diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal
di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan
kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke Baghdad. Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor
kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan
kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti : Al-Ḥāwī karya al-Rāzī (850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai
seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Rhazas mengarang suatu
Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037)
menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu
kedokteran di Eropa.
Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada
tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis
perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan
cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198)
seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al
Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu
untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia. Dalam bidang
kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia
yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni
logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau
Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138
M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w.
1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke,
al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun
fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang
sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī.
Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama
pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para
teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing. Menurut Betrand Russell, Ibn
Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam
filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir.
Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi
juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang
keabadian dan disebut Averroists.
Di Kalangan filosof profesional,
para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di
Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat
pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah
terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan
atau renaisans. Pada zaman itu bangsa Arab juga menjadi pemimpin di bidang Ilmu
Alam. Istilah zenith, nadir, dab azimut membuktikan hal itu. Angka yang masih
dipakai sampai sekarang, yang berasal dari India telah dimasukkan ke Eropa oleh
bangsa Arab. Sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bidang, yaitu :
- Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskan sedemikian rupa, sehingga dapat dikenal dunia Barat seperti sekarang ini.
- Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
- Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
2.4. Ilmu pada Zaman Renainsans (14-16 M)
Renaisans merupakan era
sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi
perkembangan ilmu. Orang pertama yang menggunakan istilah renaisans adalah
Michelet. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk
berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus
lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Renaisans adalah periode
perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan
sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan
kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama
renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan
rasionalisme. Ravertz menuturkan bahwa kemajuan Islam pada abad 12 dengan
peradaban yang lebih tinggi yang terdapat di Spanyol dan Palestina dan sebagian
lagi disebabkan perkembangan kota berbagai kota dengan kelas atanya sangat
memberikan pengaruh besar munculnya renaisans ditengah-tengah abad gelap yang
melanda Eropa. Dari pergaulan dengan peradaban Islam ini, muncullah
karangan-karangan spekulatif sederhana tentang filsafat ilmiah. Abad ke-13
menyaksikan berdirinya universitas dan zaman kebesaran pengetahuan skolastik.
Thomas Aquinas, seorang
teolog terkemuka dan Roger Bacon, penganjur metode eksperimental, termasuk
dalam zaman ini. Ilmu pengetahuan yang berkemang maju pada masa ini adalah
bidang astronomi. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain : Roger Bacon,
Copernicus, Galileo Galilei. Bacon berpendapat bahwa matematika meruakan syarat
mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Sekalipun ia menganjurkan pengalaman
sebagai basis ilmu pengetahuan, namun ia sendiri tidak meninggalkan tulisan
atau karya yang cukup berarti bagi ilmu pengetahuan. Pendapat Copernicus
berkenaan di bidang astronomi yaitu bumi dan planet semuanya mengelilingi
matahari, sehingga matahari menjadi pusat (heliosentrisisme). Pendapat ini
berlawanan dengan pendapat umum yang berasal dari Hippaarchus dan Ptolomeus
yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisisme).
Berkenaan dengan
pendapat di atas, Galileo Galilei menerima pendapat tentang prinsip tata surya
yang heliosentrisisme. Selain itu, ia membuat sebuah teropong bintang yang
terbesar pada masa itu dan mengamati bebeapa peristiwa angkasa secara langsung.
Ia menemukan beberapa peristiwa penting dalam bidang astronomi. Ia melihat
planet Venus dan Mercurius menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya
bulan, sehingga menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya
sendiri. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Galileo dalam bidang ini
menanamkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena
menunjukkan beberapa hal seperti : pengamatan (observation),
penyingkiran (elimination), segalaa hal yang tidak termasuk dalam
peristiwa yang diamati, peristiwa tersebut, pengamalan (prediction),
pengukuran (measurement), dan percobaan (experiment) untuk
menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik.
2.5.
Ilmu pada Zaman Modern
(17-19 M)
Perkembangan ilmu
pengetahuan pada zaman modern ini sesunguhnya sudah dirintis pada masa
Ranaissance, yaitu pada abad XIV, dan dimatangkan oleh ‘gerakan’ Aufklaerung di
abad ke-18. Di dalamnya ada dua indikasi yaitu, pertama, semakin
berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan
ilmu pengetahuan. Sehingga dengan demikian, membawa benua Eropa sebagai basis
perkembangan ilmu pengetahuan.
2.5.1.
Abad ke-17 sampai 18
(abad klasik-Aufklaerung)
Pada abad ke-17 terjadi perumusan kembali yang radikal
terhadap objek-objek dan fungsi-fungsi pengetahuan alamiah. Pada abad ini,
wacana epistemologi pada ilmu pengetahuan mendapat perhatian penting dalam
sejarahnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistimologis
ini, maka dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling
bertentangan. Aliran filsafat tersebut ialah rasionalisme dan emperisme.
Menjelang abad k-18, mulailah revolusi industri yang
mentransformasikan Eropa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat perkotaan;
pada akhir abad inilah terjadi Revolusi Perancis, aktivitas ilmu mengalami
perubahan-perubahan yang sedemikian rupa. Gaya dominan ilmu di zaman revolusi
adalah matematis. Dalam penerapannya, metode-metode yang digunakan beruapa
rasionalisasi. Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern,
khususnya pada abad ke-17-18 M, yaitu : Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz
(1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799 M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie
Laurent Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J. Thompson (1897 M). Newton adalah
penemu teori gravitasi, perhitungan calculus, dan optika yang mendasari ilmu
alam. Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan
astronomi. J.J. Thompson menemukan elektron. Dengan penemuannya ini, maka
runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan terkecil dan mulailah ilmu baru
dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika nuklir.
2.5.2.
Abad ke-19
Selama abad ke-19, bangsa-bangsa industri maju Eropa
membaurkan akibat-akibat revolusi industri dengan revolusi Perancis. Satu demi
satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan serupa dalam pencapaian sistem yang
sistematis dan dalam penciptaan lembaga-lembaga pengembangan aktivitas ilmiah. Abad
ke-19 merupakan abad emas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu meluas
menjadi bidang-bidang penelitian dan sangat berhasil. Perluasan itu meliputi
penggabungan matemaika dengan eksperimen fisika, penerapan teori kepada
eksperimen dalam kimia, dan eksperimen yang terkendali dalam biologi.
Edisi-edisi Encyclopedia
Britannica yang terbit di penghujung abad ini, dengan paparan historisnya
yang panjang mengenai tiap ilmu, adalah monumen bagi abad ini dan merupakan
sumber informasi yang sangat berharga bagi para pelajar. Perkembangan ilmu pada
abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan
statistika, sementara pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika,
geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya,
ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.
2.6.
Ilmu pada Zaman
Kontemporer
Zaman kontemporer adalah era perkembangan terakhir
yang terjadi dari abad 20-an hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini
mengalami kemajuan pesat, sehingga spesialisasi ilmu semakin meningkat.
Hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu eksakta
seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang
teknologi rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi. Menurut sejumlah
pengamat perkembangan ilmu pengetahuan bahwa zaman kontemporer identik dengan
rekonstruksi, dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang.
Sasaran rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial,
eksakta, dan filsafat yang ada sudah ada sebelumnya, sementara inovasi-inovasi
teknologi semakin hari semakin cepat seperti yang kita saksikan dan nikmati
sekarang ini.
Teknologi merupakan buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang
dikembangkan dari generasi ke generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan
dari perkembangan listrik (elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday
belum diketahui kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh
penemuan radio, televisi, dan komputer. Dari komputer berkembang ke PC (private
computer), lap top, dan terakhir simuter yaitu komputer jenis PDA (personal
digital assistans). Perkembangan IPTEK pada zaman ini ditandai oleh adanya
rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik (Michael Faraday),
gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dalil temuan Sinar-X (Henry
Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka banyak masalah praktis dalam
kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Di awal zaman
kontemporer ini, ilmu pengetahuan banyak dihasilkan oleh ilmuan Barat. Hal
ini mulai mencuat ketika Barat berhasil menciptakan born atom yang dianggap
merupakan salah satu “produk gemilang” IPTEK, dan menelan korban ratusan ribu
jiwa manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Namun seiring dengan waktu berjalan, peredaran ilmu pengetahuan mulai tidak
saja berkiblat ke Barat saja, tetapi kini ilmu pengetahuan mulai dikembangkan
di berbagai Negara, khususnya Negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Korea,
India, dan Iran. Bahkan, Jurnal Newscientist memuat hasil penelitian
Science-Metrix, sebuah perusahaan di Motreal, Kanada yang melakukan evaluasi
atas perkembangan dan produk ilmu pengetahuan serta teknologi di berbagai
negara. Dalam laporan hasil penelitiannya, Science-Metrix menyebutkan bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan di negara Iran sebelas kali lebih cepat dibandingkan
negara-negara lainnya di dunia. Perusahaan itu mengamati adanya “pergeseran
geopolitis dalam bidang ilmu pengetahuan dan karya” yang dihasilkan
negara-negara di dunia. Menurut Science-Metrix, banyaknya karya-karya ilmiah
yang dimuat di Web of Science menunjukkan bahwa standar pertumbuhan
karya ilmiah di Timur Tengah, khususnya di Iran dan Turki, nyaris mendekati
angka empat kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan di dunia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan singkat perkembangan sejarah ilmu
pengetahuan sejak kelahirannya pada zaman Yunani sampai sekarang, maka secara
singkat dapat ditegaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh awal tonggak ilmu
pengetahuan, yaitu Yunani. Perkembangan ini berkembang sebagai reaksi dari ilmu
pengetahuan yang sudah ada, sehingga mengantarnya pada inovasi yang tiada
henti, baik didorong dengan semangat evolusi ataupun revolusi. Jadi,
perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara
mendadak, melainkan secara bertahap, sehingga dapat memudahkan manusia dalam
menjalankan aktivitasnya, walaupun di satu sisi juga menyumbangkan kemudhratan
bagi kehidupan manusia itu sendiri.
DAfTAR PUSTAKA
Anonim(b),
“Filsafat Ilmu Pengetahuan”, dikutip dari http://syiena.wordpress.com/,
diakses tanggal 11 Januari 2011
Anonim(c), “Kontribusi
Warisan Inteletual Peradaban Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam terhadap
Pemikiran Politik Barat” dikutip dari http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/, di akses
tanggal 7 Januari 2011
Bakhtiar, Amsal, Filsafat
Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Childe, Gordon, What
Happened in History, Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975
George J. Mouly,
“Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri Jakarta: Gramedia, 1991.
Goodman, Lenn E., “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,
Bandung: Mizan, 2003
Jasin, Maskoeri, Ilmu
Alamiah Dasar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
Karim, Adiwarman A., Ekonomi
Mikro Islami, Edisi Ketiga. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007
Klein-Franke, Felix,
“Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003
Mustansyir, Rizal dan
Misnal Munir, Filsafat Ilmu,cet. II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Offset, 2002
Nasution, Harun, IslamRasional,
Bandung: Mizan, 1998
Ravertz, Jerome R., Filsafat
Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, cetakan keempat, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004
Russell, Betrand, Sejarah
Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno
hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Russel, B., History
of Western Philosophy, London : George Allen & Unwin Ltd, 1957
Schumpeter, Joseph A., A
History of Economic Analysis, New york : Oxford University Press, 1954
Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007
Tafsir, Ahmad, Filsafat
Umum : Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2003
Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogykarta : Liberty, 1996
Watt, W. Montgomery,
Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997
William, M, Science
and Social Science : An Introduction. London.: Routledge, 2000
Zarkasyi, Hamid Fahmy,
“Akar Kebudayaan Barat”, dikutip dari http://donnyreza.net/lib/INSISTS/Akar_Kebudayaan_Barat.pdf, di akses tanggal 7
Januari 2011
Ziman, J. The Force
of Knowledge : the scientific dimension of society.Cambridge: Cambridge
University Press, 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar