Monkay kung fuu

Cute Rocking Baby Monkey

Senin, 18 Maret 2013

Indonesia di persimpangan dua idiologi Dunia



BAB I
PENDAHULUAN

  1.1            Latar Belakang
Pada pembahasan ini dikemukakan tentang Sejarah Perkembangan Ideologi yang mempunyai pengaruh dan dampak yang sangat kuat kepada masyarakat termasuk para penganutnya, seperti negra Indonesia yang berada dipersimpangan Dua Idiologi Dunia, sedangkan Indonesia sendiri menganut idiologi Pancasila. Idiologi pada dasarnya merupakan idea atau gagasan yang dilemparkan atau ditawarkan ketengah-tengah arena perpolitikan. Oleh karena itu, idiologi harus disusun secara sistematis supaya dapat diterima oleh warga masyarakat secara rasional. Sebagai ide yang hendak mengatur tertib hubungan masyarakat, maka idiologi biasanya menyajikan penjelasan dan visi mengenai jkehidupan yang hendak diwujudkan.
Ideologi dalam hal ini tidaklah dipandang secara abstrak tetapi harus mampu terukur terhadap kiprah eksistensinya, sehingga tidak heran apabila Soekarno pernah mengatakan tentang perseteruan ideologi besar dunia. Beliau mengemukakan: “Bertrand Russel pernah menulis, bahwa di dalam sejarah manusia adalah dua dokumen historis yang sampai sekarang menguasai alam-hati dan alam-fikirannya bagian-bagian besar dari umat manusia, dan yang bersaingan hebat satu sama lain. Dan dokumen historis itu ialah ‘declaration of independence’ Amerika tulisan Thomas Jafferson, dan ‘Manifes Komunis’ tulisan Karl Marx.” (Dibawah Bendera Revolusi. 1965. Hal: 329). Untuk mengenal lebih lenjut tentang ideologi, Sejarah Perkembangan Ideologi Sosialisme dan Liberalisme, berikut akan dikemukakan beberapa faham di dunia, baik yang masih bertahan membasis di masyarakat dunia maupun yang hanya tercatat dalam blantika politik dunia. Dan akan dijelaskan juga mengenai pandangan bangsa Indonesia terhadap idiologi Sosialisme dan Liberalisme yang telah lama berkembang di Indonesia dan juga Idiologi bangsa Indonesia sendiri yaitu Idiologi Pancasila.
  1.2            Rumusan Masalah
1.              Bagaimana sejarah lahirnya idiologi sosialisme ?
2.      Bagaimana perkembangan ideologi sosialisme di dunia ?
3.              Bagaimana sejarah lahirnya ideologi liberalisme ?
4.              Bagaimana perkembangan ideologi liberalisme di dunia ?
5.              Bagaimana bangsa indonesia menyikapi idiologi sosialisme dan liberalisme ?

  1.3            Tujuan Penulisan 
1.      Mengetahui sejarah lahirnya ideologi sosialisme. 
2.      Mengetahui perkembangan ideologi sosialisme di dunia.
3.      Mengetahui sejarah lahirnya ideology liberalisme.
4.      Mengetahui perkembangan ideologi liberalisme di dunia.
5.      Mengetahui sikap bangsa indonesia terhadap idiologi sosialisme dan liberalisme.
 
  1.4            Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan cara meresume beberapa materi dari buku dan mengambil beberapa referensi dari artikel-artikel yang ada pada internet yang selanjutnya dikaji dan dikembangka oleh penulis.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Sejarah Lahirnya Ideologi Sosialisme
Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis, sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak mewujudkan masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial democrat, (2) komunisme,(3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad ke-19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad ke-19 yaitu sejak terbit bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia. Sosialisme muncul sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 M di Eropa.
Sosialisme merupakan ajaran kemasyarakatan (pandangan hidup) tertentu yang berhasrat menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil produksi secara merata (W.Surya Indra, 1979: 309). Dalam membahas sosialisme tidak dapat terlepas dengan istilah Marxisme-Leninisme karena sebagai gerakan yang mempunyai arti politik, baru berkembang setelah lahirnya karya Karl Marx, Manifesto Politik Komunis (1848). Dalam edisi bahasa Inggris 1888 Marx memakai istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian dalam pengertian yang sama. Hal ini dilakuakan sebab Marx ingin membedakan teorinya yang disebut “sosialisme ilmiah” dari “ sosialisme utopia” untuk menghindari kekaburan istilah dua sosialisme dan juga karena latar belakang sejarahnya. Marx memakai istilah “komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar nampak lebih bersifat revolusioner (Sutarjo Adisusilo, 1991: 127).

Dalam perkembangannya, Lenin dan Stalin berhasil mendirikan negara “komunis”. Istilah “sosialis” lebih disukai daripada “komunis” karena dirasa lebih terhormat dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka menyebut masa transisi dari Negara kapitalis ke arah Negara komunis atau “masyarakat tidak berkelas” sebagai masyarakat sosialis dan masa transisi itu terjadi dengan dibentuknya “ Negara sosialis”, kendati istilah resmi yang mereka pakai adalah “negara demokrasi rakyat”. Di pihak lain Negara di luar “Negara sosialis”, yaitu Negara yang diperintah oleh partai komunis, tetap memakai sebutan komunisme untuk organisasinya, sedangkan partai sosialis di Negara Barat memakai sebutan “sosialis demokrat” (Meriam Budiardjo, 1984: 5).Dengan demikian dapat dikemukakan, sosialisme sebagai idiologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang dianggap benar mengenai tatanan politik yang mencita-citakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata melalui jalan evolusi, persuasi, konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan.
2.2.            Sosialisme dan Demokrasi
Relasi antara demokrasi dan sosialisme merupakan satu-satunya unsur yang paling penting dalam pemikiran dan politik sosialis. Ditinjau dari segi sejarah sosialisme, bagi kelas-kelas yang berkedudukan rendah memiliki  kesempatan yang lebih untuk  mengakhiri ketidaksamaan yang didasarkan atas kelahiran dan tidak atas jasa, membuka lapangan pendidikan bagi semua rakyat, memberikan jaminan sosial yang cukup bagi mereka yang sakit, menganggur dan sudah tua dan sebagainya.

Semua tujuan sosialisme demokratis ini mempunyai persamaan dalam satu hal yaitu membuat demokrasi lebih nyata dengan jalan memperluas pemakaian prinsip-prinsip demokrasi dari lapangan politik untuk masyarakat, bukan politik dari masyarakat. Sejarah menunjukkan, masalah kemerdekaan merupakan dasar bagi kehidupan manusia. Kemerdekaan memeluk agama-kepercayaan, mendirikan organisasi politik dan sebagainya merupakan sendi-sendi demokrasi. Jika prinsip demokrasi telah tertanam kuat dalam hati dan pikiran rakyat, maka kaum sosialis dapat memusatkan perhatian pada aspek lain.
Sebaliknya, di Negara yang masih harus menegakkan demokrasi, partai sosialis harus berjuang untuk dapat merealisasikan ide tersebut. Misalnya di Jerman masa kerajaan kedua (1870-1918) yang bersifat otokratis, partai sosialis demokratis senantiasa bekerja dengan rintangan yang berat. Lembaga parlementer hanya sebagai selubung untuk menutupi pemerintahan yang sebenarnya bersifat diktaktor.
Pada masa Bismarck berkuasa, kaum sosialis demokrasi dianggap sebagai” musuh-musuh Negara”, dan pemimpin partai yang lolos dari penangkapan melarikan diri ke Inggris dan Negara Eropa lainnya. Demikian pula pada masa republik Weiner (1919-1933), partai sosial demokratis Jerman juga tidak berdaya karena tidak ada pemerintahan yang demokratis. Di Rusia sebelum 1917, keadaan lebih parah lagi, Rezim Tsar yang despotis sama sekali tidak berpura-pura dengan masalah pemerintahan demokratis. Jadi tidak mungkin ada perubahan sosial dan ekonomi dengan jalan damai, sehingga apa yang terjadi ialah revolusi oleh kaum komunis. Pada Perang Dunia (PD) II memberikan gambaran lebih jelas tentang masalah di atas. Menjelang tahun 1936 partai sosialis di Perancis merupakan partai yang terkuat.
Selama PD II di bawah kedudukan Jerman, kaum komunis lebih banyak bergerak di bawah tanah, mengadakan teror dan bertindak di luar hukum sebagaimana sifatnya dalam keadaan normal pun juga demikian, memperoleh pengikut yang lebih banyak, sehingga menjadi partai yang terkuat di Perancis. Berbeda dengan yang berada di Inggris, kaum sosialis dalam pemilihan umum tahun 1951, memperoleh suara 6 kali pengikut yang lebih banyak jumlahnya apabila dibandingkan dengan suara yang didapat kaum komunis. Bukti tersebut tidak hanya diberikan oleh Inggris Raya, tetapi juga oleh Negara-negara demokratis lainnya yang mempunyai gerakan–gerakan sosialis yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sipil yang penuh dapat menangkal fasisme dan komunisme. Apabila orang ingin memberikan tingkat kepada Negara-negara demokratis terutama dalam masalah kemerdekaan sipil, maka Inggris, Norwegia, Denmark, Swedia, Belanda, Belgia, Australia, Selandia Baru dan Israel akan berada di Puncak daftar.
Di Negara itu dalam masa terakhir berada di bawah pemerintahan sosialis atau kabinet-kabinet koalisi yang di dalamnya kaum sosialis memperoleh perwakilan yang kuat (William Ebenstein,1994: 215). Kesejajaran di atas tidaklah rumit untuk ditelusuri, kaum sosialis demokratis menyadari akan kenyataan bahwa, tanpa kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh pemerintahan konstitusional yang liberal mereka tidak akan sampai pada tangga pertama. Sekali mereka berkuasa dalam pemerintahan, kaum sosialis masih tetap mempertahankan psikologi oposisi. Sebab mereka tahu bahwa dengan memegang kekuasaan politik belum berarti soal-soal organisasi sosial dan ekonomi dengan sendirinya akan terpecahkan . Dengan kata lain, sebelum kaum sosialis mengambil alih pemerintahan, mereka beroposisi terhadap pemerintah dan kelas-kelas bangsawan; setelah mereka mendapat kekuasaan dalam pemerintahan, psikologi oposisi yang ditunjukkan terhadap status quo ekonomi perlu tetap ada.
Demokrasi dan sosialilsme merupakan dua ideologi yang sekarang nampak diannut di berbagai Negara yang bukan Fasis dan bukan Komunis. Dalam keadaan sekarang tidak mudah merumuskan pengertian demokrasi . Berbagai macam demokrasi telah berkembang menjadi berbagaai bentuk masyarakat. Demokrasi Inggris modern atau demokrasi Swedia lebih dekat dalam beberapa hal pada sosialisme Negara di Soviet Rusia dibandingkan dengan sistim ekonomi Amerika Serikat . Akan tetapi dalam soal-soal perorangan dan kemerdekaan politik hal sebaliknya yang berlaku . Berbeda lagi yang ada di Amerika Serikat mungkin dapat disebut “demokrasi kapitalis”. Disebut demikian karena yang tampak hanya demokrasi politik, tetapi tidak cukup ada apa yang dinamakan demokrasi ekonomi dengan tetap adanya freefight ekonomi yang memungkinkan beberapa gelintir orang menjadi kapitalis yang amat kaya . Demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial dapat diketemukan dalam idiologi sosialisme, yang pada prinsipnya menjurus kepada suatu keadilan sosial dengan semboyan : kepada seorang harus diberikan sejumlah yang sesuai dengan nilai pekerjaanya. Akan tetapi untuk mencapai itu, sering kali pemerintah harus campur tangan dengan membatasi keluasaan gerak-gerik para warganegara. Sampai di mana ini berlaku, tergantung dari keadaan setempat di tiap-tiap Negara ( Wiryono P., 1981: 137) .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosialisme hanya dapat berkembang dalam lingkungan masyarakat dan pemerintahan yang memiliki tradisi kuat dalam demokrasi. Pada saat kaum sosialis berhasil memegang kekuasaan, pemerintahan masih tetap diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk ikut ambil bagian ( sebagian oposisi) dan mereka juga menyadari bahwa kekuasaan yang diperoleh tidak bersifat permanen .
2.3.            Perkembangan Ideologi Sosialisme Di Dunia
Kemenangan bangsa-bangsa demokrasi dalam perang dunia I memberikan dorongan yang kuat bagi partumbuhan partai sosialis di seluruh dunia. Perang telah dilancarkan untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan keadaan sosial terhadap imperialisme totaliter Jerman dan Sekutu-sekutunya. Selama peperangan telah dijanjikan kepada rakyat-rakyat negara demokratis yang ikut berperang, bahwa kemenangan militer akan disusul dengan suatu penyusunan kehidupan sosial baru berdasarkan kesempatan dan persamaan yang lebih banyak.
Di Inggris dukungan terbesar terhadap gerakan sosialisme muncul dari Partai Buruh mencerminkan pertumbuhanuruh dan perkembangannya suatu proses terhadap susunan sosial yang lama. Pada awal pertumbuhan hanya memperoleh suara (dukungan) yang kecil dalam perwakilannya di parlemen. Selanjutnya menjadi partai yang lebih bersifat nasional setelah masuknya bekas anggota partai liberal. Banyak programnya yang berasal dari kaum sosialis,  terutama dari kelompok Febiaan berhasil memperkuat posisi partai karena dapat memenuhi keinginan masyarakat. Kemajuan yang dapat dicapaimisalnya dalam bidang (1) pemerataan pendapatan (2)distribusi pendapatan (3) pendidikan (4) perumahan (Anthony Crosland, 1976: 265-268).
  Di Negara-negara Eropa lainnya seperti Perancis, Swedia, Norwegia, Denmark dan juga Australia dan Selandia Baru partai-partai sosial berhasil memegang kekuasaan pemerintahan melalui pemilu-pemilu bebas. Hal tersebut berarti kalau kita berbicara sosialisme, maka kita menghubungkan dengan sosialisme demokrasi tipe reformasi liberal. Hal ini perlu dibedakan dengan sosialisme otoriter atau komunisme seperti yang terlihat di Soviet dan RRC.                                Selama tahun 1920-an dan 1930-an, kaum sosialis di Eropa dan Amerika melakukan serangan baru terhadap kelemahan kapitalisme, ungkapan-ungkapan misalnya : ketimpangan ekonomi, pengangguran kronis, kekayaan privat dan kemiskinan umum, menjadi slogan-slogan umum. Di Eropa partai sosialis demokratis dipengaruhi Marxisme revisionis,solidaritas kelas pekerja, dan pembentukan sosialis yang papa akhirnya melalui cara demokratis sebagai alat untuk memperbaiki kekurangan system kapitalis. Periode tersebut merupakan era menggejolaknya aktivitas sosialis. Setelah PD II terjadi perubahan besar dalam pemikiran kaum sosialis. Pada permulaan tahun 1960 banyak diantara partai sosialis demokrat Eropa yang melepaskan dengan hubungan ikatan-ikatan idiology Marx. Mereka mengubah sikapnya terhadap hak milik privat dan tujuan mereka yang semula tentang hak milik kolektif secara total. Perhatian mereka curahkan terhadap upaya “ menyempurnakan ramuan”pada perekonomian yang sudah menjadi ekonomi campuran.
Akibatnya disfungsi antara sosialis dan negara kesejahteraan modern (The modern welfare state) kini dianggap orang sebagai perbedaan yang bersifat gradual.Menurut Milton H Spencer sosialisme demokrasi modern merupakan suatu gerakan yang berupaya untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui tindakan (1) memperkenalkan adanya hak milik privat atas alat-alat produksi (2) melaksanakan pemilikan oleh Negara (public ounership) hanya apabila hal tersebut diperlukan demi kepentingan masyarakat (3) mengandalkan diri secara maksimal atas perekonomian pasar dan membantunya dengan perencanaan guna mencapai sasaran sosial dan ekonomis yang diinginkan ( Winardi, 1986: 204).
Bagaimanakah sosialisme di Negara-negara berkembang ?. Negara-negara miskin berhasrat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dari segi kepentingan dalam negeri pertumbuhan ekonoimi yang tinggi merupakan satu-satunya cara untuk mencapai srtandart hidup, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Ada dua cara untuk mencapai pembangunan ekonomi yang pesat: Pertama cara yang telah digunakan oleh Negara Barat (maju), pasar bebas merupakan alat utama untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kedua komunisme, dalam metode ini Negara memiliki alat-alat produksi dan menetapkan tujuan yang menyeluruh. Dalam menghadapi masalah modernisasi ekonomi Negara-negara berkembang pada umumnya tidak mau meniru proses pembangunan kapitalis Barat atau jalur pembangunan komunisme. Mereka menetapkan sendiri cara-cara yang sesuai dengan kondisi masing-masing Negara. Ketiga jalan ketiga disebut Sosialisme. Dalam konteks negara terbelakang/berkembang sosialisme mengandung banyak arti pertama di dunia yang sedang berkembang sosialisme berarti cita-cita keadilan sosial . Kedua istilah sosialisme di Negara-negara berkembang sering berarti persaudaraan, kemanusiaan dan perdamaian dunia yang berlandaskan hukum. Arti Ketiga sosialisme di Negara berkembang ialah komitmen pada perancangan ( Willan Ebenstein,1994: 248-249).
Melihat tersebut di atas arti sosialisme pada negara berkembang dengan Negara yang lebih makmur karena perbedaan situasi histories. Di dunia Barat sosialisme tidak diartikan sebagai cara mengindustrialisasikan Negara yang belum maju, tetapi cara mendistribusikan kekayaan masyarakat secara lebih merata. Sebaliknya, sosialisme di Negara berkembang dimaksudkan untuk membangun suatu perekonomian industri dengan tujuan menaikkan tingkat ekonomi dan pendidikan masa rakyat , maka sosialisme di negara Barat pada umumnya berkembang dengan sangat baik dalam kerangka pemerintahan yang mantap (seperti di Inggris dan Skandinavia) .
Sedangkan di Negara berkembang sosialisme sering berjalan dengan beban tardisi pemerintahan yang otoriter oleh kekuatan imperialism easing atau oleh penguasa setempat.Karena itu ada dugaan sosialisme di Negara berkembang menunjukkan toleransi yang lebih besar terhadap praktek otoriter dibandingkan dengan dengan yang terjadi sosialisme di Negara Barat. Kalau Negara-negara berkembang gagal dalam usahanya mensintesakan pemerintahan yang konstitusional dan perencanaan ekonomi , maka mereka menganggap bahwa pemerintahan konstitusional dapat dikorbankan demi memperjuangkan pembangunan ekonomi yang pesat melalui perencanaan dan pemilikan industri oleh Negara.
Jika kita perhatikan dalam sejarah bangsa Indonesia , pada awal kemerdekaan sampai tahun 1965 pernah pula diintrodusir konsep sosialisme ala Indonesia. Apakah itu sebagai akibat pengaruh PKI atau ada aspek-aspek tertentu yang memang sesuai dengan kondisi di negara kita. Yang jelas sejak memasuki Orde BAru “sosialisme” itu tidak terdengar lagi. Adanya perbedaan pengertian mengenai konsep sosialisme , memberikan wawasan kepada kita bahwa suatu ideology politik yang dianut oleh suatu Negara belum tentu cocok untuk negar lain . Melalui pemahaman ini dapat dipetik manfaatnya untuk pengembangan pembangunan nasional demi tercapainya tujuan nasional seperti yang terumuskan dalam UUD 1945.
2.4.         Idiologi sosialisme di indonesia
Dalam Buku yang berjudul Sosialisme Indonesia karya Dr. H. Roeslan Abdulgani, menjelaskan bahwa Dalam konteks sejarah sosialisme Indonesia, negara Indonesia sesungguhnya sudah mengenal sosialisme yang mengandung dua bagian dalam isinya, yang masing-masing perlu dijelaskan. Pertama adalah arti “perkembangan”, kedua adalah arti “sosialisme”. Yang dimaksud dengan perkembangan adalah sejarahnya, tetapi yang agak terbatas; sehingga dalam rangkaiannya dengan perkataan sosialisme.
Di tahun 1890 kekuasaan kolonial Hindia-Belanda dikejutkan dengan ajaran Kyai Samin, alias Soeratniko yang berprofesi sebagai petani di Blora. Ajaran Kyai Samin tersebut berdasarkan atas hak milik kolektif dan cara-cara pengolahan sawah secara kolektif, dan gotong royong, dilengkapi dengan aturan pembagian hasil menurut keperluan dan keadilan. Ditambah pula dengan adanya disiplin moral yang melarang orang mencuri, membohong, berbuat serong, dan sebagainya (hlm. 13). Dunia mengakui bahwa sosialisme berdasarkan ilmu pengetahuan Marx dan Engels, bahwa masyarakat itu terus akan tumbuh sejalan dengan hukum evolusi. Masyarakat oer-komunis akan bertumbuh menjadi masyarakat feodal, yang kemudian menjadi masyarakat kapitalis (hlm. 15).Sosialisme yang cocok diterapkan di Indonesia yaitu Marhaenisme yang diciptakan oleh Bung Karno.
Secara penjabaran, pertama Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat kaum marhaen. Kedua, Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya. Ketiga, marhaenisme dus asas “tegelijk” menuju cara perjuangan kepada hilangnya Kapitalisme, Imperialisme, dan Kolonialisme (hlm. 36). Pancasila merupakan watak perlawanan atas kapitalisme, dan “sosialisme an sich” walaupun semuanya tidak tersebut secara keseluruhan UUD 1945 pembukaan 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan dan aturan tambahan, maka perkataan kolonialisme yaitu penjajahan, secara tegas tertulis di dalam UUD 1945, sebagai suatu yang tidak sesuai dengan “perikemanusiaan dan peradilan” dan secara imperatif dalam UUD 1945 “harus dihapuskan” (hlm. 73).
Pemancaran daripada Pancasila itu adalah “Manipol” dengan “Usdek” sebagai perasaan Manipol yang oleh MPRS kemudian tidak hanya diperkuat sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, melainkan diperlengkapnya Garis-Garis Besar Haluan Negara itu dengan: Pertama, bagian mutlaknya yakni Garis-Garis Besar Haluan Pembangunan (Amanat Pembangunan Presiden). Kedua, pedoman-pedoman pelaksanaannya baik di bidang keseluruhannya di dalam negeri, maupun khusus di bidang hubungan antar bangsa dan luar negeri (Pidato Presiden Djarek dan Pidato Presiden di PBB) (hlm. 94).
 Sejarah pertentangan atas kolonialisme yang didasari oleh sosialisme, diceritakan kedatangan orang-orang Belanda di tanah air kita yang membawa peradaban dan ketentraman karena di sinilah belum ada peradaban dan ketentraman itu, sedangkan seluruh nada ceritanya itu adalah mengagung-agungkan Jan Pieterszoon Coon, Speelman, Daendels, Van Heutsz, dsb, serta merendahkan Sultan Agung, Hasanudin, Dipenogoro, Imam Bonjol, tengku Umar, dsb. Sejarah yang di zaman Hindia Belanda yang diajarkan kepada kita semuanya berdasarkan pandangan seakan-akan penggerak utama jalannya sejarah perlawanan itu adalah raja-raja belaka, kadang-kadang diselingi oleh sejarahnya “helden en groote mannen” artinya “kesatria-ksatria serta orang-orang besar” saja, biasanya dari lingkungan raja atau dari kerabatnya kaum bangsawan ningrat (hlm. 174-175).
Inilah yang dianggap bahwa raja yang menjadi penggerak pemberontakan kepada kolonialisme Hindia Belanda, namun sesungguhnya rakyat yang lebih banyak berperan daripada raja-raja. Inilah langkah awal antara feodal yang menyerang kolonialisme dari luar.
2.5.             Sejarah Lahirnya Ideologi Liberalisme
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20).
Kata liberalisme untuk pertama kali dipakai di Spanyol tahun 1811 sebagai sebutan untuk pengaturan Negara secara Konstitusional sebagai pengaruh Revolusi Perancis zaman Napoleon. Liberalisme baru benar-benar mulai berkembang kira-kira pada abad ke-14, tahap akhir abad pertengahan dan awal zaman Renaissance, dengan munculnya golongan baru yaitu Bourjuis. Selama berabad-abad struktur masyrakat terbagi menjadi tiga golongan: Rohaniawan, Bangsawan, dan Rakyat. Status tercipta karena system kepemilikan tanah sehingga hidup perekonomiannya terpusat pada mereka yang mempunyai tanah yang tinggal di manor ( kastil atau istana bangsawan ). Yang kemudian dikenal manorial economy. Tetapi ketika kerajinan atau Industri perumahan dan perdagangan mulai berkembang, manorial economy beralih ke Money economy dengan pusat kegiatan ekonomi di kota-kota. Jadi Liberalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, baik dalam kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan. Paham liberalisme muncul karena kekuasaan raja sangat mutlak atau absolut yaitu tidak memberikan kebebasan pada rakyatnya. Pada masa itu dalam kegiatan ekonomi berkembang paham merkhantilisme, yaitu segala kegiatan ekonomi dan perdagangan harus memberikan keuntungan yang besar pada kerajaan.
Hal ini menimbulkan reaksi yaitu munculnya gerakan liberalime di bidang ekonomi, gerakan tersebut akhirnya meningkat menjadi gerakan politik yang meletus lewat Revolusi Perancis 1978. Melalui kekuasaan Napoleon I, faham liberal disebarkan ke negara Eropa melalui semboyan “ Liberty, Egality, Fraternity “/ Kebebasan, Persamaan , Persaudaraan.
Liberalisme sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, maka didalam sistem pemerintahannya selalu mengadakan pembagian kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini sebagi reaksi keras terhadap absolutisme mengingat didalam sistem politik absolutisme, hak-hak asasi manusia selalu diperkosa atau manusia-manusia itu selalu diperbudak. Itulah sebabnya dalam Revolusi Prancis sebagai reaksi keras terhadap pemerintahan absolut daripada Raja Louis XVI mengumandangkan suara-suara yang cukup menggetarkan seluruh dunia, yaitu Liberte, Egalite, dan Fraternite. Sistem politik liberalisme menganggap bahwa sistem politik yang paling tepat untuk suatu negara agar hak-hak asasi manusia itu terlindungi ialah sistem demokrasi. Itulah sebabnya, sebagai contoh, Amerika Serikat menentukan garis kebijaksanan didalam memberikan bantuan terhadp negara-negara yang sedang berkembang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia, pemerintah negara-negara di dunia harus menggunakan sistem demokrasi.
Sistem politik liberalisme lebih menekankan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, maka infrastruktur/struktur masyarakat/struktur sosial selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem kediktatoran.
v   Ciri-ciri Sistem Politik Liberalisme
Sistem politik liberalisme memiliki beberapa ciri, yaitu:
1.      Sangat menekankan kebebasan/kemerdekaan individu.
2.      Sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia yang utama seperti hak hidup, hak kemerdekaan, hak mengejar kebahagiaan, dan lain-lain.
3.      Dalam sistem pemerintahan, terbagi atas beberapa kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
4.      Menganggap sistem demokrasi sebagai sistem politik yang paling tepat untuk suatu negara karena hak-hak asasi manusia itu terlindungi.
5.      Infra struktur/struktur sosial selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem kediktatoran.
6.      Adanya homo seksual dan lesbianisme yang disebabkan penekanan kepada kebebasan individu.
7.      Melahirkan sekularisme, yaitu paham yang memisahkan antara negara dengan agama. Menurut pemahaman mereka, agama adalah urusan masyarakat sedangakan negara adalah urusan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh turut campur dalam hal agama.
8.      Menentang ajaran komunisme yang menganut sistem kediktatoran sehingga hak-hak asasi manusia banyak dirampas dan diperkosa.
9.      Melahirkan kelas ekonomi yang terdiri dari kelas ekonomi kuat dan lemah. Saat ini sedang diusahakan dalam Sistem politik liberalisme modern untuk menghilangkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin.
10.  Berusaha dengan keras untuk mewujudkan kesejahteraan terhadap seluruh anggota masyarakat atau seluruh warga negara. Mengingat penderitaan dan kesengsaraan dapat menyebabkan perbuatan-perbuatan yang bertentang dengan konstitusi negara.
11.  Adanya budaya yang tinggi dengan menjungjung tinggi kreatifitas, produktifitas, efektifitas, dan inovasitas warga negaranya.
12.  Mengusahakan di dalam negaranya suatu pemilihan umum yang berasas luber sehingga pergantian pemerintahan berjalan secara normal.
13.  Menentang sistem politik kediktatoran karena meniadakan Hak Asasi Manusia.




v  Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme :
·         Kesempatan yang sama. Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
  • Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu. Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.
  • Berjalannya hukum. Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
  • Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Negara hanyalah alat. Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
  • Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatism. Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah
2.6.            Dua Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada.
Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir. Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi).
Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.


2.7.            Demokrasi Liberal
Liberalisme dan demokrasi, adalah dua hal yang sering disandingkan. Persandingan antara liberalisme dan demokrasi tersebut kemudian lebih dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Demokrasi liberal tersebut kemudian disebutkan oleh Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal "the End of History" sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional. Kemudian, dalam tulisannya yang berjudul "Democracy, the Nation-State, and the Global System", David Held menyebutkan bahwa demokrasi liberal memsusatkan perhatian pada "kesimetrisan" dan "ke-kongruen-an" hubungan antara pengambil keputusan politik dan penerima keputusan politik.
 Pada abad 20, teori demokrasi telah berfokus pada konteks organisasi dan budaya dari prosedur demokrasi serta dampak dari konteks tersebut pada operasi dari "aturan mayoritas" atau "majority rule".Namun, tak dapat dihindari bahwa terdapat pertentangan mendasar dalam demokrasi liberal itu sendiri. Dalam hal ini, pertentangan antara prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi dan liberalisme sebagai dua hal yang menjadi dasar dari demokrasi liberal. Konflik antara liberalisme dan demokrasi yang terjadi kemudian menimbulkan banyak kritik dari berbagai pemikir dan akademisi.Liberalisme mempunyai mimpi bahwa kesejahteraan manusia dapat diraih dengan kebebasan individu-individu untuk hidup termasuk kebebasan dalam berusaha.  Liberalisme yang sangat menekankan dan mengedepankan kepemilikan individu tersebut pada akhirnya mengabaikan nilai atau prinsip demokrasi yang menekankan equality atau kesetaraan.
Prinsip mayoritas yang juga dianut dalam demokrasi pada akhirnya juga terabaikan ketika ekonomi dan politik hanya dikuasai oleh sekelompok minoritas yang memiliki akses terhadap kepemilikan individu. Penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri. Liberalisme menekankan kebebasan. Kebebasan yang dicari manusia sendiri berbeda-beda dan tergantung pada kondisi sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka.
Namun, kaum minoritas yang memiliki hal (kebebasan) tersebut telah mendapatkannya dengan mengeksploitasi sebagian besar yang tidak mendapatkan hal tersebut. Mereka percaya bahwa kebebasan individu adalah sebuah tujuan akhir bagi manusia dan tidak ada yang seharusnya dapat dikurangi dari hal tersebut oleh yang lainnya; paling tidak bahwa beberapa harus menikmatinya dengan biaya orang lain. Para filsuf seperti Locke, Adam Smith, dan dalam beberapa hal, Mill, dengan optimis melihat asal-usul manusia dan memiliki sebuah kepercayaan mengenai kemungkinan dalam mengharmonisasikan kepentingan-kepentingan manusia.
Dalam hal ini misalnya mempercayai bahwa keharmonisan sosial dan kemajuan dapat disesuaikan dengan pesan yang luas bagi kehidupan privat melebihi negara ataupun otoritas lainnya.Dalam hal ini, filsuf seperti Mill sangat mementingkan perlindungan bagi kebebasan individual. Dalam essay-nya yang terkenal, Mill menyatakan bahwa kecuali orang yang tersisa untuk hidup seperti yang mereka inginkan "di jalan mereka sendiri", peradaban tidak bisa maju; kebenaran tidak akan, bagi kurangnya sebuah pasar bebas dalam ide-ide; tidak akan ada lagi ruang untuk spontanitas, orijinalitas, kejeniusan, untuk keberanian moral. Masyarakat akan ditabrak oleh sebuah "kolektif biasa" yang berat. Namun, hubungan antara demokrasi dan kebebasan individu adalah sebuah perjanjian baik yang lebih lemah daripada yang sepertinya terlihat. Kebebasan dapat mengorbankan kesetaraan.
Hal ini adalah sebuah hal yang biasa dalam histiografi Marxis untuk menekankan cara dalam praktek-praktek dari kebebasan borjuis dan sudut pandang formal dari hak yang melindungi mereka baik yang menghasilkan maupun yang menyembunyikan ketimpangan Kelas. Dalam Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa "Dengan kebebasan itu berarti, di bawah keadaan-keadaan yang ditampilkan borjuis dari produksi, perdagangan bebas, penjualan dan pembelian secara bebas."

Analisis Tocqueville mengenai ancaman kesetaraan dalam kebebasan, adalah bahwa kita harus juga "berjuang untuk mengurangi dampak-dampak yang merugikan dalam demokrasi dan kesetaraan politik yang dihasilkan ketika kebebasan ekonomi memproduksi ketimpangan yang besar dalam pendistribusian sumber daya dan kemudian, secara langsung maupun tidak langsung, kekuasaan.Selain itu, dalam sudut pandang Marxisme, merujuk pada pernyataan Leszek Kolakowski, "adalah sebuah mimpi menawarkan prospek sebuah masyarakat dengan persatuan yang utuh, dimana aspirasi dari semua manusia akan dipenuhi, dan dan semua nilai didamaikan; tapi konflik-konflik yang pasti timbul diantara kebebasan dan kesetaraan, dan beberapa konflik dapat "diatasi hanya dengan kompromi-kompromi dan solusi-solusi parsial.
Kritik yang paling sering diutarakan bagi demokrasi liberal memang berasal dari perspektif pemikiran politik "Kiri" yang berfokus pada penciptaan kesesuaian yang lebih besar antara representasi politik dan warga negara asli; dalam kasus ini, melalui penambahan mekanisme akuntabilitas demokrasi. Marx melihat keretakan antara publik dan privat, warga negara dan borjuis, negara dan civil society sebagai dasar-dasar yang krusial bagi filosofi liberal. Dalam essay-nya, On The Jewish Question, Marx menyebutkan bahwa negara-negara liberal maju "menghapuskan" perbedaan berdasarkan pada kelahiran, pendidikan, pekerjaan, tapi hanya dalam rangka bahwa hal tersebut dideklarasikan oleh mereka sebagai sebuah hal yang tidak relevan secara politik.
Hal tersebut mengubah politik kepada pelayanan yang egois dan hanya peduli pada materi.Kritik lain terhadap demokrasi liberal diungkapkan oleh para feminis, salah satunya oleh Anne Philips. Dalam bukunya, Engendering Democracy, Phillips mengungkapkan bahwa sebagaimana kritik lainnnya, demokrasi liberal mencerminkan sebuah jenis ketakutan politik. Dimulai dengan antisipasi kecemasan dari apa yang mungkin dilakukan pemerintah, dan yang kemudian menyusul sebagai perpanjangan hak-hak demokrasi dan hak pilih, yang mengakhiri ketakutan masyarakat itu sendiri.

Demokrasi liberal dirancang pada wilayah di luar kontrol pemerintahan dan terkadang secara formal dengan mendirikan hak-hak individu dan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang tertulis tapi lebih umum melalui pergeseran konvensi sejarah menjadi lebih dari apa yang dapat dianggap sebagai sebuah perhatian publik. Dimana sprosedur mengoperasikan negara akan dibatasi dan manjauh dari domain publik. Demokrasi liberal membuat pemisahan antara ruang publik dan privat, atau pemisahan antara sosial dan politik.
Batasan dari liberal yang diletakkan pada pemerintahan tidak hanya dioperasikan untuk melindungi kebebasan-kebebasan individual. Mereka juga mempertahankan ketidakadilan yang dapat membuat olok-olok bagi demokrasi itu sendiri. Hak yang sama untuk memilih misalnya, tidak menjamin sebuah persamaan yang dipengaruhi keputusan politik. Para feminis pun menawarkan hubungan yang erat antara teori feminis dan demokrasi. Para pemikir dan akademisi lainnya pun mencoba mencarikan solusi atas problema konflik antara liberalisme dan demokrasi tersebut. Hal - hal yang hanya bersifat prosedural dalam demokrasi liberal kemudian harus diisi dengan substansi dari demokrasi itu sendiri. Maka kemudian, akademisi seperti Mouffe pun menawarkan apa yang disebut sebagai demokrsi deliberativedengan penekanannya terhadap imparsialitas dan konsensus nasional.
2.8.            Perkembangan Ideologi Liberalisme di Dunia
Idiologi liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu, oleh karena itu Liberalisme dianut oleh negara-negara di berbagai benua, yaitu :
Benua amerika: Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Brazil, Cili, Cuba, Kolombia, Ekuador, Honduras, Kanada, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela Aruba, Bahamas, Republik Dominika, Greenland, Grenada, Kosta Rika, Puerto Rico Suriname.
Benua eropa: Albania, Armenia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus, Republik Cekoslovakia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Moldova, Netherlands, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Rusia, Serbia Montenegro, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukraina dan United Kingdom Belarusia, Bosnia-Herzegovina, Kepulauan Faroe, Georgia, Irlandia dan San Marino.
Benua Asia: India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand, Turki Myanmar, Kamboja, Hong Kong, Malaysia dan Singapura. Kepulauan Oceania: Australia dan Selandia Baru.
Benua Afrika: Mesir, Senegal dan Afrika Selatan, Aljazair, Angola, Benin, Burkina Faso, Mantol Verde, Côte D'Ivoire, Equatorial Guinea, Gambia, Ghana, Kenya, Malawi, Maroko, Mozambik, Seychelles, Tanzania, Tunisia, Zambia dan Zimbabwe.         

2.9.             Idiologi Liberalisme di Indonesia
            Liberalisasi di Indonesia berawal dari masuknya VOC Belanda. Kemudian ketika Soekarno berkuasa, ia mencoba dan membalik keadaan dengan mengamanatkan UUD 1945. Kemudian disusul dengan macam-macam tindakan mulai dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, sampai kemudian pada puncaknya pada tgl 23 Agustus 1965 dengan menerbitkan UU no 16/65.
            Dengan UU itu, Soekarno dengan tegas mengakhiri segala bentuk keterlibatan perusahaan asing di Indonesia yang merupakan klimaks atau proses atau koreksi penghentian liberalisasi di Indonesia. Tetapi beberapa minggu kemudian, meletuslah peristiwa G30S/PKI yang berujung pada akhirnya kekuasaan Soekarno. Proses penggulingan SOekarno ini, tak lepas dari campur tangan AS.Masuknya liberalisasi di Indonesia terjadi pasca Proklamasi khususnya setelah Indonesia masuk Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Di situlah perlahan-lahan awal masuknya, seperti ketika di KMB saat Indonesia dipaksa untuk mengikuti IMF, yang jelas kaki tangan Amerika. Kamudian pada 1957, beberapa ekonom Indonesia berangkat ke Amerika, yang belakangan kemudia dikenal sebagai mafia Barkeley.
            Bukti lain adalah saat pecah pemberontakan PRRI / Permesta, yang pada salah satu kejadian, tertembaknya sebuah pesawat yang kemudian jatuh dengan pilotnya yang berasal dari Amerika.Pasca era Soekarno, cenkeraman liberalisme di Indonesia makin kuat, yaitu dengan masuknya mafia Barkeley ke dalam Kabinet Soeharto. Dari situlah terbit sejumlah UU yang menyiapkan dasar-dasar dari proses liberalisasi berikutnya. Antara lain yang paling penting diantaranya adalah UU no.1 / 67 yang melegalkan penanaman modal asing. Maka sejak itulah di era Soeharto, mafia Barkeley benar-benar berkuasa, ada liberalisasi, deregulasi, debirokratisasi, sampai kemudian krisis 1998. Lalu IMF masuk, utang Indonesia pun menggunung dan seterusnya dan seterusnya sampai sekarang.
Di era SBY makin liberal lagi. Dengan terbitnya UU Penanaman Modal yang lebih ekstrim liberalnya dari pada UU No. 1 / 1967. UU tersebut tidak membedakan antara penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, bahkan bisa masuk ke semua sektor hingga 95%! SBY pun menggelar karpet merah bagi liberlisasi ekonomi di Indonesia. Dampak dari liberalisasi ini adalah ekonomi Indonesia yang berkembang, tapi bukan kesejahteraan rakyatnya, melainkan dominasi asing. Rakyat makin terpinggirkan, kekayaan alam terkuras habis untuk asing, rakyatpun jadi kuli di negeri sendiri. Kalau di negeri sendiri tidak bias terpaksa  jadi TKI.
2.10.        Idiologi Politik Indonesia
Di Indonesia sendiri, sebelum era ‘66 atau pra masa Orde Baru menguasai pemerintahan, dikenal beberapa aliran atau ideologi politik yang menurut Herbert Feith dan Lance Castles membentuk teori tapal kuda, yang dari kiri ke kanan berturut-turut, yaitu :1. Komunisme (PKI), 2. Nasionalisme Radikal (PNI), 3. Sosialisme Demokrat (PSI), 3. Tradisionalisme Jawa (PIR), 5. Islam (Masyumi dan NU). Perkembangan ideologi politik pada masa Orde Baru nyatanya dipropaganda dengan menetapkan Pancasila, selain sebagai pandangan hidup dan dasar negara, ia juga harus diambil sebagai ideologi politik suatu partai. Sehingga kemudian yang tersedia hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang beraliran Islam, Golongan Karya (Golkar) yang pragmatis sebagai partai pemerintah, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang nasionalisme radikal.
Ketiga wadah politik ini ‘wajib’ menggunakan Pancasila sebagai ideologi politiknya masing-masing.Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.
Dari pengertian di atas, ideologi politik Indonesia boleh jadi disamakan dengan ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila. Sebelumnya perlu dipahami bahwa Pancasila memiliki dua peranan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertama, sebagai pandangan hidup, yakni sebagai pedoman tingkah laku bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila, yang telah diwariskan kepada bangsa Indonesia merupakan sari dan puncak dari sosial budaya yang senantiasa melandasi tata kehidupan sehari-hari. Sumber nilai tersebut antara lain, adalah keyakinan adanya Tuhan YME, asas kekeluargaan, asas musyawarah mufakat, asas gotong royong, serta asas tenggang rasa dan tepo seliro. Dari nilai-nilai inilah kemudian lahir adanya sikap yang mengutamakan persatuan, kerukunan, dan kesejahteraan yang sebenarnya sudah lama dipraktekkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pandangan hidup bagi suatu bangsa seperti Pancasila sangat penting artinya karena merupakan pegangan yang mantap, agar tidak terombang-ambing oleh keadaan apapun, bahkan dalam era globalisasi dewasa ini. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara, yang tercantum di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan yuridis konstitusional dan dapat disebut sebagai ideologi negara. Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga semua peraturan hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila harus dicabut. Perwujudan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, dalam bentuk perundang-undangan bersifat imperatif (mengikat) bagi : 1. Penyelenggara negara, 2. Lembaga kenegaraan, 3. Lembaga kemasyarakatan, 4. Warga negara Indonesia di mana pun berada, dan  5. Penduduk di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Intinya, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan ketatanegaraan negara yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam.Dalam tinjauan yuridis konstitusional, Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam negara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana tertuang di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, jo. Tap. MPR No. V/MPR/1973, jo. Tap. MPR No. IX/MPR/1978. Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi negara Pancasila.
Dengan kata lain dalam kedudukan seperti ini Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa. Berdasarkan kenyataan tersebut, gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar negara Republik Indonesia. Hal ini direalisasikan melalui Ketetapan Sidang Istimewa MPR tahun 1998 No. XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P-4 dan pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Orsospol di Indonesia, serta mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden atas kewenangannya untuk membudayakan Pancasila melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila.Monopoli Pancasila demi kepentingan kekuasaan penguasa hal ini merupakan dampak yang sangat serius atas manipulasi Pancasila.
Saat ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru. Sehingga mengembangkan dan serta mengkaji Pancasila dianggap akan mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan yang sinis serta upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila pada era reformasi akan sangat berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu melemahnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi negara sehingga akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang telah lama dimana, dipelihara serta didambakan bangsa Indonesia sejak dulu.

BAB III
PENUTUP
                                                                                                                                                    
3.1.                  Kesimpulan
Dari banyaknya pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.              Idiologi merupakan sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial.Istilah “ideologi” dipergunakan oleh Marx dan Engels mengacu kepada seperangkat keyakinan yang disajikan sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain adalah pencerminan kondisi-kondisi material masyarakat.
2.              Sosialisme adalah pandangan hidup dan ajaran kamasyarakatan tertentu, yang berhasrat menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil-hasil produksi secara merata, dan juga kepentingan negara lebih diutamakan dari pada kepentingan warga negaranya.
3.              Sosialisme sebagai ideology politik timbul dari keadaan yang kritis di bidang sosial, ekonomi dan politik akibat revousi industri. Adanya kemiskinan, kemelaratan, kebodohan kaum buruh, maka sosialisme berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan secara merata.
4.              Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, baik dalam kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan. Paham liberalisme muncul karena kekuasaan raja sangat mutlak atau absolut yaitu tidak memberikan kebebasan pada rakyatnya.
5.              Liberalisme sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, maka didalam sistem pemerintahannya selalu mengadakan pembagian kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini sebagi reaksi keras terhadap absolutisme mengingat didalam sistem politik absolutisme, hak-hak asasi manusia selalu diperkosa atau manusia-manusia itu selalu diperbudak.
6.              Sistem politik liberalisme menganggap bahwa sistem politik yang paling tepat untuk suatu negara agar hak-hak asasi manusia itu terlindungi ialah sistem demokrasi.
7.              Indonesia mempunyai kecenderungan menolak mentah-mentah nilai-nilai liberal dan bahkan tidak sedikit yang anti-liberal, karena jika nilai-nilai liberal diterapkan di Indonesia, maka warga Indonesia cenderung tidak dapat menjalankan nilai-nilai ‘kebebasan’ di ruang-ruang umum (publik).
8.              Ideologi politik Indonesia boleh jadi disamakan dengan ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila yang memiliki dua peranan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertama, sebagai pandangan hidup, yakni sebagai pedoman tingkah laku bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, Pancasila sebagai dasar Negara yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga semua peraturan hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila harus dicabut.

3.2.        Saran
Dari beberapa kesimpulan diatas penulis dapat memberikan saran :
1.                   jika Indonesia sebagai bangsa yang ingin tertib, sesuai dengan peraturan yang jelas, dan adanya sikap saling menghargai individu satu dengan yang lainnya, maka sangat signifikan Indoensia menerapkan ideologi liberal sepaket dengan demokrasi (demokrasi liberal). Sebaliknya, jika Indonesia ingin tetap bebas, yakni warganya hidup sesukanya, perilaku individu berada di atas aturan hukum, adanya tindak kekerasan terhadap minoritas dan individu sebagai ekspresi kebebasan dan demokrasi, maka Indonesia tidak perlu menerapkan ideologi liberal.
2.         Indonesia saat ini sangat membutuhkan sebuah idiologi dalam menjalankan pemerintahan ini ke depan. Tidak lain ideologi itu adalah Pancasila. Dengan demikian, pancasila masih tetap cocok untuk menjadi dasar Negara dan pandangan hudup bangsa Indonesia sepanjang pancasila dilakukan dan diwujudkan, bukan hanya dipajang sebagai dekorasi yang indah. Pancasila adalah paham yang terbuka, maka bangsa Indonesia harus bersedia mengambil segi – segi positif dari paham – paham yang lain, termasuk sosialisme dan liberalisme, guna memperkaya dan memperkuat nilai pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar